Laporan Rahmad Wiguna I Aceh Tamiang
Mediatani |, KUALASIMPANG –Penghancuran hutan mangrove dalam skala besar kembali terjadi.
Di Wilayah Cina, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang, ratusan hektar hutan mangrove dilaporkan telah dimasuki dan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal.
Temuan ini diungkapkan langsung oleh Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) setelah melakukan survei terbaru, Minggu (3/8/2025).
“Setidaknya terdapat 300 hektar kawasan hutan mangrove yang telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit,” kata Sayed Zainal, Direktur Eksekutif LembAHtari, saat mengumumkan hasil penelitian mereka.
Menurut Sayed, perambahan ini tidak hanya menyebabkan kerusakan pada ekosistem mangrove yang rentan, tetapi juga berdampak langsung secara sosial dan lingkungan terhadap penduduk pesisir.
Tim LembAHtari menelusuri area tersebut melalui jalur darat dan pesisir, serta menemukan bukti-bukti visual terkait pembukaan lahan, penebangan hutan, hingga pembangunan kebun yang diduga dilakukan secara terencana sejak akhir 2024.
“Perambahan ini menyebabkan hutan kita semakin berkurang, dampak lingkungan jelas terasa, dan masyarakat sekitar paling merasakan akibat dari aktivitas ilegal ini,” katanya.
Luas hutan mangrove saat ini mencapai 24.013,5 hektare, terdiri dari 18.904,26 hektare Hutan Produksi (HP) dan 5.109,24 hektare Hutan Lindung (HL).
Luas hutan mangrove di Aceh Tamiang mengalami penurunan yang besar akibat penebangan liar dan perubahan fungsi lahan untuk kegiatan industri perkebunan kelapa sawit serta pertambangan ilegal, dengan 85 persen hutan mangrove di Aceh Tamiang dilaporkan mengalami kerusakan.
Dalam penyelidikan tersebut, ia menyampaikan bahwa alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi di Alur Cina, tetapi juga ditemukan di Kualagenting dengan luas sekitar 600 hektar.
Diperkirakan perubahan penggunaan ini telah terjadi sejak tahun 2000.
“Tindakan ini sudah sangat tidak terkendali dan kejam, tanpa memperhatikan ekosistem mangrove terbesar di provinsi Aceh yang memiliki keragaman 22 jenis pohon mangrove paling lengkap di Indonesia harus tetap dilestarikan,” kata Sayed.
Ia menegaskan bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting karena memiliki nilai kredit karbon yang sangat tinggi serta bisa menjadi tujuan wisata mangrove, jika dikelola dengan benar dan baik.
Sayed mengharapkan pihak Direktorat Jenderal Balai Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK) Wilayah Sumatera bertanggung jawab dalam menangani pelanggaran serta tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia.
Mereka bekerja guna menjamin keamanan lingkungan, kawasan hutan, serta kekayaan keragaman hayati dengan menggunakan berbagai alat penegakan hukum.
“Jangan biarkan hal ini terus berlangsung, harus ada tindakan hukum yang nyata, bukan hanya sekadar datang ke lokasi, mengambil foto, lalu membuat laporan, belum ada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Penegakan Hukum KLHK yang menindak pelaku kejahatan penebangan hutan mangrove,” tegasnya.(*)
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Ratusan Hektare Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Dibabat dan Berubah Fungsi Menjadi Perkebunan
Update berita lainnya di Mediatani | dan Google News