Mediatani – Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) telah mengkonfirmasi bahwa terdapat kebocoran pipa di area BZZA pada Kamis (15/4/2021) lalu. Pipa bocor tersebut berada sekitar 15 mil dari bibir pantai Karawang.
Yani (56), seorang nelayan asal Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, Karawang mendapati tumpahan minyak tersebut mengambang dan terdampar di pantai. Khawatir akan dampak yang ditimbulkan, dia dan nelayan lainnya berbondong-bondong menjaring limbah yang ada di laut dan di pinggir pantai.
”Kami khawatir tumpahan minyak akan berdampak panjang seperti tahun 2019. Bila dibiarkan, laut pasti akan makin tercemar,” ucapnya, dilansir dari Kompas.
Yani mengaku trauma dengan kejadian tersebut. Pasalnya, insiden tumpahan minyak yang terjadi pada tahun 2019 lalu telah menghadirkan nelangsa bagi nelayan. Kejadian itu telah membuat para nelayan menjalani masa terberat dalam dua tahun terakhir ini.
Akibat terdampak tumpahan minyak itu, pemasukannya menurun drastis. Untuk dapat bertahan hidup, dia terpaksa menjadi tenaga lokal dadakan untuk membersihkan ceceran tumpahan minyak di sepanjang wilayahnya.
Pekerjaan itu memberinya upahnya Rp 100.000 per hari. Padahal, jumlah yang didapatkan saat leluasa menangkap udang jauh lebih besar, yakni mencapai Rp 500.000 per hari.
Yani sempat mencoba untuk kembali melaut. Namun, limbah tumpahan minyak justrus membuat jaringnya menjadi kotor. Padahal, jaring tersebut telah dipertahankannya hampir selama dua tahun. Ia baru bisa membeli jaring yang baru setelah mendapatkan uang sisa kompensasi dari PHE ONWJ pada Maret 2021 lalu.
Pada akhir tahun 2019, dia sudah mendapat kompensasi sebesar Rp 1,8 juta. Uang tersebut merupakan sisa dari uang Rp 9 juta yang baru dibayarkan setelah menanti hampir dua tahun lamanya.
Uang itu pun telah habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, membeli jaring, dan membayar utang. Ia memang mengharapkan uang kompensasi final dari tumpahan minyak itu untuk melunasi utang selama dirinya tidak melaut.
Meski tumpahan minyak pada tahun 2019 sudah teratasi, giliran pandemi dan cuaca buruk yang terjadi pada 2020 menghantam kondisi perekonomiannya.
Sebab, saat itu harga tangkapan menjadi anjlok. Udang hasil tangkapannya hanya dihargai Rp 70.000-Rp 80.000 per kilogram. Padahal, biasanya udang tersebut dijual Rp 90.000-Rp 120.000 per kg. Pendapatannya pun menurun, dari Rp 500.000 per hari menjadi paling tinggi Rp 300.000 per hari.
Ia juga kesulitan untuk menangkap ikan dengan harga yang lebih mahal. Dengan menggunakan perahu 2 GT, daya jelajahnya hanya bisa sekitar 20 kilometer dari bibir pantai. Jika dipaksakan hanya akan mendatangkan malapetaka karena cuaca buruk terus saja datang.
”Semua berpengaruh pada hasil tangkapan. Hasilnya kian sedikit. Saya cemas, hal itu dipengaruhi minyak yang tumpah,” ungkapnya.
Tumpahan minyak yang mencemari air laut juga mengkhawatirkan petambak udang dan ikan di pesisir utara. Endi, salah seorang petambak udang vaname di Desa Sungai Buntu, Karawang, terpaksa menghentikan sementara pengambilan air laut untuk mengisi petak-petak tambaknya.
Ia masih menyimpan cadangan air laut yang bisa digunakan untuk sirkulasi penggantian air tambaknya hingga seminggu ke depan. Ia berharap kondisi air laut tersebut bisa kembali bersih agar bisa digunakan kembali untuk tambaknya.
Sementara di petakan lainnya, untuk sementara menunda proses penebaran benih udang. Ia tidak ingin mengambil risiko dan menanggung kerugian yang sama seperti yang terjadi pada dua tahun sebelumnya. Pasalnya, ia juga telah mengalami kerugian hingga miliaran rupiah akibat panen dini.
Hingga saat ini, pihak PHE ONWJ sama sekali belum memberikan kompensasi untuknya. Padahal, ia telah mengeluarkan banyak uang untuk menutup kerugian hingga memulihkan kualitas dasar tambak yang mencapai miliaran rupiah.
”Tolong permasalahan ini dituntaskan segera, jangan sampai berlarut. Kami menanti janji ditepati,” pintanya.