Mediatani – Tidak mudah bagi Sukmono, seorang warga Dukuh Kendalisodo, Desa Alastuwo, Kecamatan Poncol, Magetan. Pasalnya, Sukmono memerlukan waktu beberapa tahun agar bisa meyakinkan para petani untuk mau mengubah perawatan pohon kopi mereka sehingga bisa berbuah lebih optimal.
Dilansir dari laman beritajatim.com, Kegiatan warga Alastuwo dalam menanam kopi di Gunung Tambal ini memang sudah sejak lama dilakukan. Bahkan sejak zaman penjajahan Belanda.
Meski telah lama membudidayakan kopi, rupanya Kopi Gunung Tambal ini tidak begitu dikenal oleh masyarakat luas.
Saat ditemui di kebunnya pada Minggu (18/7/21), pria berusia 63 tahun itu membeberkan bahwa sebagian besar petani menjual langsung biji kopinya kepada tengkulak tanpa melakukan proses pasca panen.
“Tidak hanya itu, gaya penanaman yang diterapkan oleh para petani juga masih tradisional,” ungkap Sukmono.
Menurut Sukmono, tidak ada pemangkasan terhadap pohon kopi. Padahal, dengan memangkas Kita bisa membatasi pertumbuhan pohon kopi agar tidak terlalu tinggi agar lebih mudah dipanen oleh petani.
Selain itu, pemangkasan juga berfungsi untuk memperbanyak gerombolan buah kopi disetiap rantingnya.
“Dari situlah kopi bisa berbuah banyak. Dan panennya lebih banyak tentunya,” kata Sukmono.
Tidak hanya itu, Sukmono juga sudah berusaha keras untuk meminta agar para petani bisa petik merah. Maksudnya, hanya buah kopi yang sudah berwarna merah yang bisa dipetik.
Jika masih hijau, harus ditunggu dulu hingga bisa merah. Hal ini karena kualitas kopi saat petik merah jauh lebih baik disbanding dengan hijau tapi telah dipanen. Tengkulak juga pasti berani membeli dengan harga yang sedikit lebih mahal.
“Tidak mudah meyakinkan mereka, hal ini belum banyak dipercaya oleh para petani, hany sebagian yang menerapkannya,” keluh Sukmono.
Menurut Ketua Kelompok Kampung Kopi Gunung Tambal ini, para petani harus diedukasi terkait pengolahan pasca panen.
Hal ini karena, selain untuk meningkatkan kualitas, harga jualnya pun bisa lebih tinggi.
Banyak yang memberikan harga bagus. Tetapi hingga saat ini dari tiga puluh petani yang tergabung belum seluruhnya menerapkan strategi yang sama. Sukmono mengungkapkan masih butuh berbenah dulu.
Sementara itu, ternyata para warga pun berinisiasi untuk membuat kampungnya sebagai kampung kopi.
Hedy Sumarno yang merupakan anggota Gapoktan Kampung Kopi Gunung Tambal, menyampaikan keluhan para petani. Di lahan mereka yang luasnya sekitar 5,5 hektar rupanya masih kekurangan pasokan air untuk mengairi tanaman kopi.
Selain kurangnya pasokan air, kendala lain yang dihadapi adalah minimnya jaringan listrik yang membuat mereka kesulitan saat mengontrol lahan mereka di malam hari. Keluhan itu sudah disampaikan kepada Bupati dua minggu lalu saat melakukan kunjungan ke desa tersebut.
Minimnya pasokan air akan berdampak pada penurunan pertumbuhan tanaman hingga akan mengurangi hasil panen. Tetapi, untung saja di tahun 2021 ini panen yang dilakukan di Gunung Tambal masih menyentuh angka sepuluh ton yang seluruhnya merupakan kopi petik merah.
Bahkan, impiannya bersama para petani untuk menbuat kampung kopi pun sudah mulai dirintis. Berbekal dari biaya swadaya, mereka mulai membangun gubuk yang sederhana di tengah kebun kopi milik salah seorang petani.
“ selanjutnya kami berharap bisa jadi kedai kopi, karena Kami telah memiliki konsep agar bisa ngopi di kebun kopi,” ungkap Hedy.
Tetapi untuk saat ini, mereka masih fpkus untuk mengedukasi para petani terlebih dahulu. Sehingga, nantinya akan berdampak pada peningkatan kualitas produk kopi.
“Dari para pendatang yang sempat berkunjung ke Gunung Tambal, ada yang memberikan testimoni kalau cita rasa kopi Gunung Tambal cukup berbeda,” pungkas Hedy.