Paradigma Baru Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian

  • Bagikan
Ilustrasi mediatani
Ilustrasi: Petani gotong royong dalam memanen padi di sawah (Sumber: waru.desa.id)

Oleh: Khairul Ikhwan*

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi mengangkat jajaran Menteri baru dalam kabinetnya. Yang patut diperhatikan dari cara kerja Menteri ini adalah bagaimana mereka langsung mengeluarkan trobosan dalam agenda kerjanya demi menjaga komitmen mereka terhadap presiden dan terutama kepada masyarakat. Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri pertanian baru yang menggantikan Amran Sulaiman tak kalah sibuk mengeluarkan trobosan untuk menunjukkan komitmennya membangun pertanian Indonesia.

Diantara terobosan yang dikeluarkan oleh Menteri pertanian adalah gerakan tiga kali lipat ekspor (Gratieks) dengan cara melibatkan semua pemangku kepentingan pembangunan pertanian untuk bekerja dengan memanfaatkan teknologi, inovasi, jejaring, dan kerjasama yang kuat. Kemudian Menteri Pertanian mendorong percepatan rekapitulasi dan penetapan Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) demi menahan laju ahli fungsi lahan. Dari sisi hukum, Menteri pertanian menggaet Kejaksaan Agung untuk melakukan pengawasan terhadap praktik penyelewengan hasil pertanian. Menteri pertanian sangat menaruh perhatian kecurangan yang dilakukan di industri pertanian dengan mengancam para mafia pangan yang mempermainkan industri pertanian dari hulu sampai hilir.

Poin kunci yang sangat menjadi perhatian saya ketika membicarakan pembangunan dan pengembangan pertanian adalah Sumberdaya Manusia (SDM) pertanian. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa SDM merupakan kunci dalam pembangunan dan pengembangan pertanian. Coba kita lihat bagaimana pengelolaan pertanian kita sekarang ini. Pengelolaan pertanian mayoritas masih di pegang oleh generasi baby boomers (generasi yang lahir tahun 1946-1964) dan generasi X (lahir tahun 1965-1979) (BPS, 2018). Selain itu rata-rata Pendidikan petani kurang baik. Dari sini dapat dilihat bahwa kompetensi SDM pertanian mengalami ketertinggalan karena kompetensi generasi baby boomer dan generasi X untuk memanfaatkan teknologi modern tidak memadai.

Apa yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi petani di bawah pimpinan Bapak Menteri Syahrul Yasin Limpo? Menteri SYL berusaha meningkatkan lagi peran penyuluh melalui program “Konstratani” Komando Strategis Pertanian. Konstratani menjadi pelayanan digital pemutakhiran data pertanian, pusat konsultasi agribisnis dan pengembangan jaringan kemitraan. Selain itu Konstratani sebagai pusat penyuluhan pertanian. Dapat dikatakan Konstratani merupakan program yang sangat baik karena merupakan integrasi antara pemangku kepentingan, data, pengetahuan, permodalan dan pemasaran. Dengan catatan apabila program ini ditangani secara serius dan konsisten oleh pemerintah.

Terlepas dari program Konstratani yang bertujuan strategis, saya ingin menyampaikan bahwa pengembangan SDM pertanian bukan hanya tentang penyaluran pengetahuan kepada petani. Diperlukan manajemen, perncanaan, pengaturan, pengawasan dan evaluasi terhadap SDM pertanian untuk mencapai tujuan akhir pertanian yaitu pasar. Dengan berat hati saya katakan bahwa petani harus berorientasi pasar kemudian ikut merasakan persaingan pasar global. Daripada mengeluh dan minta dilindungi dari persaingan global maka lebih baik kita mulai memperbaiki manajemen SDM pertanian kita.

Saya ingin menyampaikan solusi pertama untuk memperbaiki manajemen SDM kita yaitu manajemen talenta. Ada sekitar sepersepuluh sampai seperduapuluh orang di antara SDM pertanian yang memiliki kompetensi di atas rata-rata orang lain. Cara menemukan bakat itu yaitu seperti jika kita melihat hanya ada sedikit atlet yang benar-benar berbakat dan sangat terkenal dalam tim sepakbola, basket, voli, dll. Bakat-bakat ini nanti dapat membantu membangun sistem usaha, mengelola inovasi, kreativitas dan layanan usaha di areanya. Sederhananya, berdayakanlah mereka, ajak mereka berkontribusi jadikan mereka inspirator bagi petani lainnya.

Solusi kedua adalah membentuk kompetensi SDM pertanian dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk menghadapi era disrupsi atau paling tidak mendekati. Mendekati bukan berarti bukan tanpa target atau tujuan yang jelas, namun tentukan kompetensi yang kira-kira dapat dikuasai oleh petani. Tentunya perlu ditinjau dari kesiapan petani di masing-masing daerah untuk mempelajari kompetensi yang baru. Kompetensi utama yang dibutuhkan untuk menghadapi era disrupsi menurut World Economic Forum, yaitu: penyelesaian masalah kompleks, berfikir kritis, kreatifitas, mangatur orang lain, berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, membuat keputusan, orientasi pelayanan, negosiasi dan kognitif fleksibel.

Solusi ketiga adalah SDM pertanian harus selalu berfikiran strategis. SDM pertanian harus berfikiran untuk menambah nilai dari produk pertaniannya. Produk yang dihasilkan oleh petani kita terlebih dahulu ditingkatkan nilai dari produknya. Kemudian SDM pertanian harus terhubung dengan berbagai pemangku kepentingan dan mengetahui apa saja yang diinginkan oleh pemangku kepentingan. Misal saja pelanggan, petani harus siap menyelaraskan produk yang dihasilkan dengan keinginan pelanggan.

Menyatukan SDM pertanian adalah strategi berikutnya. Antar SDM pertanian harus bisa bekerjasama bukan saling menjatuhkan. Antar SDM pertanian saling menyelaraskan, mengintegrasikan, dan berinovasi dalam praktik atau desain yang mereka miliki. Kemudian petani berinvestasilah dalam pengetahuan. Selalu mencari pengetahuan untuk memperbaiki diri adalah hal yang bagus. Bahkan jika ada pelatihan berbayar dan petani memiliki kemampuan dana maka jangan menunggu nanti.

Solusi keempat dan terakhir dalam memperbaiki Manajemen SDM pertanian adalah mengevaluasi. Evaluasi dilakukan dengan indikator-indikator yang jelas. Indikator yang jelas membawa evaluasi ke tahap perbaikan diri. Itulah sekiranya apa-apa yang bisa dilakukan untuk menambahkan kedalaman strategi pengembangan pertanian kita ditinjau dari sisi Sumber Daya Manusia. /**

*) Khairul Ikhwan merupakan Dosen manajemen Universitas Tidar, Kordinator Indonesia Food Watch (IFW) wilayah Jateng

  • Bagikan