Mediatani – Ahli Ekonomi senior Emil Salim mengatakan bahwa kebijakan impor yang dikeluarkan pemerintah bukan langkah yang tepat untuk mewujudkan ketahanan pangan. Menurutnya, kebijakan tersebut hanya akan membuat petani sengsara.
“Jika stok pangan kita berkurang, maka yang harus dilakukan bukan impor, tapi meningkatkan kapasitas produksi kita. Jika harga naik, maka kita perlu mencari tahu hambatan di lapangan seperti apa,” ujar Emil saat menjadi pembicara dalam webinar yang bertajuk Potensi Sektor Pertanian Dalam Mencegah Krisis Ekonomi, Kamis (29/07).
Emil mengatakan, mindset pemerintah yang berfokus mewujudkan ketahanan pangan seharusnya sudah beralih pada upaya meraih kedaulatan pangan.
“Orientasi yang kita kejar bukan lagi ketahanan pangan, melainkan kedaulatan pangan. Kalau ketahanan pangan, maka jalan keluarnya impor. Itu sering dilakukan. Padahal impor berdampak pada anjloknya harga di tingkat petani,” imbuh Emil.
Untuk itu, Emil berharap pemerintah bisa memperhatikan biaya produksi yang dikeluarkan petani sehingga mereka bisa mendapat keuntungan. Kebijakan pemerintah, menurutnya, harusnya juga berfokus pada sarana produksi, seperti pupuk dan bibit, hingga sewa lahan dan rantai distribusi.
“Kalau biaya produksi, seperti harga pupuk dan sewa lahan terus naik, bagaimana bisa masyarakat tertarik untuk bertani? Tentunya prospek pertanian tidak menarik dikembangkan karena cost naik, sementara revenue turun,” ungkapnya.
Selain itu, Emil juga meminta pemerintah untuk dapat mengupayakan peningkatan kapasitas petani, terutama dalam hal penggunaan teknologi.
“Kondisi Indonesia bagian timur tentunya berbeda dengan Indonesia bagian barat maupun tengah. Teknologi presisi harus dikuasai oleh petani dan penyuluh. Manfaatkan teknologi sebaik-baiknya,” tegas Emil.
Dalam webinar tersebut, Wakil Menteri Pertanian, Harvick Hasul Qolbi menjelaskan bahwa Kementerian Pertanian (Kementan) telah berkomitmen untuk terus berpihak pada kepentingan petani. Namun, menurut Harvick, mengatasi persoalan pertanian perlu sinergi antar kementerian, maupun dengan masyarakat.
“Sinergi memang harus dilakukan dengan beberapa pihak, termasuk Kementerian Perdagangan (Kemendag). Seperti para peternak petelur kita saat ini yang dihadapkan pada persoalan fluktuasi harga pakan dan dinamika harga di pasaran. Tentunya kondisi ini perlu kita carikan solusinya bersama,” terang Harvick.
Kementan saat ini juga terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas petani seraya meningkatkan minat anak muda untuk terjun ke sektor pertanian. Menurutnya, sektor pertanian dapat diminati jika beberapa hal dapat dipenuhi.
“Pertama, pendapatan. Tanpa pendapatan yang memadai, mereka tidak akan tertarik. Selain itu, akses informasi pun harus dilakukan secara terbuka. Dengan transparansi informasi, diharapkan bisa menjadi motivasi anak muda untuk masuk ke sektor pertanian,” ungkap Harvick.
Sebelumnya, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan bahwa program food estate yang dicanangkan pemerintah juga merupakan salah satu solusi untuk pemenuhan pangan domestik ke depan.
“Terlebih lagi, tren kebijakan ekonomi pascapandemi kemungkinan sebagian besar negara akan konsentrasi bagaimana mendorong kemandirian ekonomi masing-masing, khususnya terkait kebutuhan pangan dan kesehatan,” ujar Eko Listiyanto.
Dia menjelaskan bahwa food estate di sektor pertanian, terbukti dapat bertahan meski di tengah pandemi COVID-19, sehingga akan menjadi dorongan besar bagi masyarakat untuk melirik dan mengembangkan sektor ini hingga sampai ke tahap industrialisasi.
Menurut Eko, pemerintah tak perlu melakukan impor pangan karena di masa pandemi ini stok pangan masih surplus. Eko menilai lebih baik mendorong penguatan produksi agar semakin mandiri dan menjaga antusiasme sebagian masyarakat untuk tetap mengembangkan pertanian, tak pupus di tengah jalan akibat solusi instan impor pangan.
Selain itu, sangat penting adanya aksesibilitas terhadap pangan, sehingga strategi food estate dapat menjamin aksesibilitas baik di tingkat nasional maupun lokal.