Mediatani – Aktivis iklim Greta Thunberg menyebut bahwa perusahaan mode cepat atau fast fashion menggunakan strategi “greenwashing” untuk mengambil simpati para konsumen.
Beberapa tahun terakhir, fast fashion telah mendapatkan kecaman tentang dampaknya terhadap lingkungan dan pekerja. Fast fashion didasarkan pada model bisnis berbiaya rendah dan menghasilkan lebih banyak produk.
Sedangkan Greenwashing adalah strategi komunikasi atau pemasaran satu perusahaan (dalam hal ini industri fashion) untuk memberikan citra yang ramah lingkungan.
Strategi Greenwashing juga baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan yang tanpa benar-benar tidak melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan.
Namun, kesadaran masyarakat mulai tumbuh akibat limbah pakaian yang nantinya berdampak terhadap lingkungan. Hal ini membuat para pelaku fashion berkontribusi membuat produk yang lebih baik dan lebih menyejahterakan.
Upaya yang dilakukan para pelaku fashion ini salah satunya dengan mengganti skema fast fashion dan beralih menerapkan ethical fashion.
Ethical fashion merupakan konsep atau gerakan fashion yang berfokus pada sikap etis suatu perusahaan pakaian terhadap hak dan kesejahteraan pekerjanya. Selain mengedepankan sikap etis, industri yang mempraktikkan konsep ini juga lebih memperhatikan dampak lingkungan, kelayakan produk, serta upah bagi para pekerjanya.
Perusahaan fashion diketahui memproduksi berbagai produk yang dijualnya secara global setiap tahun. Hal itu membuat industri ini mengkonsumsi sumber daya dalam jumlah besar.
Selain itu, proses pembuatannya juga telah mencemari saluran air dan mengeluarkan gas rumah kaca yang besar. Belum lagi, sebagian besar pakaian hanya akan berakhir di tempat sampah.
Greta Thunberg Suarakan Krisis Lingkungan
Greta Thunberg pertama kalinya muncul sebagai sampul Vogue Scandinavia, pada hari Minggu (8 Agustus 2021) lalu. Pada saat itu, ia juga menyerukan tentang dampak fast fashion terhadap lingkungan kepada jutaan pengikutnya di media sosial, dimana saat ini ia telah memiliki 12 juta pengikut di Instagram.
Greta memahami pembeli yang membeli produk fashion karena mereka ingin bisa mengekspresikan diri dan identitas mereka.
Dikutip dari qz.com, Kamis 12 Agustus 2021, dalam wawancara yang dilakukan Greta Thunberg dengan Vogue, ia menyatakan bahwa pelaku yang membeli produk fast fashion telah mendorong proses yang berbahaya.
Perempuan berusia 18 tahun asal Swedia ini dikenal karena secara konsisten menyuarakan dampak perubahan iklim global.
Greta menegaskan bahwa saat ini sudah banyak orang yang telah beralih ke pakaian bekas yang lebih menyelesaikan masalah. Ia memiliki caranya sendiri dalam hal fashion, yaitu tidak membeli produk apapun yang baru setelah 3 tahun dan itupun adalah barang bekas. Ia juga memilih untuk meminjam barang dari orang yang dikenalnya.
Bagaimana Tanggapan Pakar Manajemen Limbah dan Energi?
Perusahaan seperti H&M dan Zara telah berupaya untuk beroperasi secara lebih berkelanjutan dengan meningkatkan penggunaan bahan organik dan daur ulang.
Perusahaan ini juga berupaya mengurangi jejak karbon, dan mengumpulkan pakaian untuk didaur ulang. Namun, upaya ini belum mencapai skala, sementara kritikan terbesar terhadapnya adalah volume pakaian yang dibuat dan volumenya yang tidak menurun.
Pada waktu yang terpisah, Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi, menyampaikan bahwa masih banyak perusahaan yang greenwashing.
Greenwashing mengacu pada klaim menyesatkan perusahaan yang mengatakan bahwa mereka menerapkan bisnis yang beretika atau ramah lingkungan.
Aretha pun memberikan contoh, ada produsen berbohong bahwa mereka ‘green company’ dan menggunakan produk yang ramah lingkungan atau menerapkan recycle. Akan tetapi, sebetulnya tidak seperti itu.
”Sayangnya, masih banyak konsumen yang terjebak dan menjadi korban greenwashing ini,”ungkapnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kesadaran untuk memiliki gaya hidup yang lebih berkelanjutan oleh masyarakat tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup. Inilah menjadi penyebab kebingungan masyarakat, serta sulitnya memilih produk yang benar-benar punya tujuan baik bagi lingkungan.
“Kita tentu tidak bisa mengandalkan produsen untuk transparan. Maka balik lagi keputusan ada di tangan konsumen agar lebih bijak dalam mengonsumsi pakaian,” tutup Aretha.