Alih Fungsi Lahan Ganggu Biodiversitas Tanah, Apa Bahayanya?

  • Bagikan
mari menjaga keberagaman tanah

Mediatani – Isu tentang lahan dan pangan yang terkait dengan ketahanan pangan (food security), dan kedaulatan pangan (food sovereignty) menjadi isu yang santer dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir.

Pertumbuhan penduduk dan desakan ekonomi yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang cepat pada beberapa sektor ekonomi. Hasil kajian empiris Mustopa (2011) menjelaskan bahwa pertumbuhan tersebut juga membutuhkan lahan yang lebih luas sehingga terjadi peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan di berbagai sektor.

Pentingnya lahan bagi berbagai sektor tersebut membuat permintaan akan kegunaan lahan semakin meningkat, ini sejalan dengan makin meningkatnya pertambahan penduduk.

Namun, ketersediaan lahan relatif terbatas, karena lahan merupakan faktor produksi yang tidak bisa diproduksi lagi oleh manusia atau sering disebut non produced input.

Alih fungsi lahan yang terjadi tentu mempunyai dampak negatif, karena pada dasarnya lahan pertanian mempunyai fungsi yang luas baik dilihat dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan.

Menurut Budi, (2011) secara ekonomi dan sosial dampak yang amat jelas adalah berkurangnya ketersediaan lapangan kerja pertanian dan pendapatan petani dan dilihat dari sisi lingkungan, sejumlah manfaat akan hilang bersama hilangnya fungsi lahan pertanian yang telah dikonversi ke non pertanian.

Karena itu, alih fungsi lahan pertanian dianggap menjadi ancaman terhadap pencapaian ketahanan pangan dan memiliki implikasi yang serius terhadap produksi pangan.

Di sisi lain, lingkungan fisik dan biota-biota tanah akan semakin menurun yang berdampak pada penurunan kesuburan tanah dan terjadinya degradasi lahan, serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahan.

Hatu, (2018) berpendapat bahwa berbagai konflik alih fungsi lahan telah kita temukan di Indonesia. Ada berbagai permasalahan alih fungsi lahan yang perlu mendapat perhatian serius.

Permasalah itu berkaitan dengan pemanfaatan, pengukuhan sertifikasi hak milik perorangan maupun pengalihan status tanah dari hak milik perorangan menjadi hak milik perusahaan yang digunakan untuk perkebunan, industri atau hak milik pemerintah yang digunakan untuk kepentingan perkantoran, pemukiman, dan lain-lain.

Aktivitas pertanian dan perluasa lahan pertanian merupakan penyebab utama degradasi dan hilangnya habitat. Alihfungsi lahan hutan adalah perubahan fungsi pokok hutan menjadi kawasan non hutan seperti pemukiman, areal pertanian dan perkebunan. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan usaha lain.

Selain itu, pertambangan juga merupakan salah satu aktifitas yang paling banyak memicu kerusakan lingkungan dan degradasi lahan. Perubahan-perubahan penggunaan lahan akibat aktifitas pertambangan juga memicu penurunan kondisi pertanian.

Tidak hanya pertambangan, pembangunan industri lain juga semakin meningkat. Hal tersebut menjadikan luas lahan pertanian saat ini menjadi semakin menurun.

Di Indonesia khususnya Sulawesi selatan, berbagai permasalahan alih fungsi lahan terus saja terjadi. Tulisan Arya Wicaksana yang diterbitkan di Kabar.news mengabarkan bahwa di Kabupaten Luwu Timur petani mengaku lahannya dirusak dan diambil alih oleh PT Perkebunan Nusantara untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Diketahui lahan seluas 814 hektar khususnya di desa Pancakarsa Kecamatan Mangkutana yang sebenarnya hanya bisa dikelola oleh PTPN seluas 514 hektar dalam sertifikat HGU dan selebihnya tetap dimanfaatkan petani untuk pertanian dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Meski demikian, seiring berjalannya waktu, perusahaan tetap menggusur lahan pertanian yang tidak termasuk dalam HGU bahkan menyerobot lahan ke desa lainnya. Hal tersebut pun sudah sempat dilaporkan ke pemerintah setempat namun sampai saat ini belum ada respon dan tindakan.

Tribunlutim.com pada september lalu juga memberitakan tentang 6 hektar lahan masyarakat yang digunakan untuk perkebunan kakao, lada dan kelapa sawit lenyap bahkan rencananya akan dieksekusi pihak PTPN seluas 30 hektar yang diklaim PTPN termasuk dalam HGU tanpa adanya ganti rugi.

Masalah alih fungsi lahan juga terjadi di Tahura Abdul latif Sinjai, dimana hutan dibabat untuk dijadikan kawasan wisata perkemahan dan jalur tracking bersepeda.

Dalam tulisannya di Mongabay.co.id, Wahyu Chandra mengatakan bahwa hal tersebut menjadi salah satu permasalahan baru yang muncul dimana pemerintah mengizinkan pembabatan hutan tanpa memperhatikan aspek ekologis.

Hal tersebut tidak hanya dapat menyebabkan terganggunya kawasan hutan yang dijaga tetapi dapat menimbulkan bencana dikemudian hari serta flora dan fauna yang akan terganggu bahkan kerusakan bentang alam.

Permasalahan lain juga terjadi di Kelurahan Temmassarange Kabupaten Pinrang, dimana sekitar 40 Ha sawah tercemari oleh aktivitas tambang batu di Gunung Paleteang. Luas lahan persawahan di kawasan tersebut semakin sempit akibat pembukaan jalan sebagai infrastruktur keluar masuknya mobil pengangkut galian.

“Setelah adanya tambang, Gunung Paleteang tersebut menjadi gundul, saat musim hujan lumpurnya turun mencemari sawah warga,” keluh Hanafi yang dilansir Makassar.terkini.id.

Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam akan menimbulkan suatu perubahan terhadap ekosistem yang akan mempengaruhi kelestarian sumber daya alam.

Pemanfaatan sumber daya alam yang melebihi ambang batas daya dukung lahan dan tanpa memperhatikan aspek kelestariannya akan mendorong terjadinya suatu bencana yang akan merugikan masyarakat.

Masalah-masalah perubahan tutupan lahan mempengaruhi keberadaan dan keberagaman biota di dalam tanah. Padahal, biota tanah sangat berperan dalam pembentukan dan stabilitas struktur serta kesuburan tanah.

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version