Mediatani – Tantangan yang pasti akan dihadapi oleh para petani yaitu berkurangnya lahan disetiap tahunnya. Lahan pertanian yang semakin lama semakin minim ini tiada lain untuk memenuhi kebutuhan perumahan serta industri. Hal ini disebabkan oleh jumlah masyarakat yang juga semakin banyak.
Merespon hal tersebut, Syahrul Yasin Limpo selaku Menteri Pertanian menyampaikan bahwa tren alih fungsi lahan pertanian di tahun 1990-an dulunya mencapai hingga sekitar 30 ribuan Ha per tahun. Luasnya semakin meningkat menjadi sekitar 110 ribu Ha di tahun 2011, bertambah lagi mencapai 150 ribu Ha di 2019.
Dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI pada Senin (29/03/2021), Mentan SYL menyampaikan bahwa data dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) membenarkan bahwa ada beberapa fakta tentang alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang sampai saat ini masih berlangsung.
“Ini data dari BPN (Badan Pertanahan Nasional). Memang ada beberapa kenyataan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang masih terus berlangsung saat ini, bahkan cenderung meningkat,” ujar Syahrul
Dilansir dari detik.com, Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2018 ini juga menjelaskan bahwa pengalihan fungsi lahan pertanian itu telah diubah menjadi lahan industri dan juga pembangunan jalan.
Pada dasarnya kekuasaan untuk memutuskan alih fungsi lahan ada pada Pemerintah Daerah (Pemda). Hal itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Kendati demikian, Mentan Syahrul tetap meminta agar pihaknya diberikan kewenangan agar bisa ikut melakukan penuntutan langsung terkait penurunan lahan pertanian.
“Meskipun Kuasa sepenuhnya masih berada di keputusan Pemerintah Daerah, khususnya di Kabupaten. Tetapi jika dibiarkan seperti ini pastilah akan kecenderungan meningkat. Pengalihan fungsi lahan pertanian ini akan terus meluas seperti yang sudah kita saksikan saat ini,” tandasnya.
Lalu bagaimana dengan food estate? Apakah pembangunannya mengganggu lahan pertanian?
Mentan SYL meyakinkan bahwa pembangunan dari food estate ini sama sekali tidak mengganggu kawasan hutan yang ada di Indonesia. Penanamannya pun juga tidak dilakukan di wilayah tebing yang susah dijangkau.
“Salah satu contoh food estate yang terletak di Humbang Hasundutan itu sama sekali tidak mengganggu hutan. Memang terdapat banyak semak belukar di sana, tetapi bukan tebing yang keterjalannya di atas 40 derajat, tidak,” ucapnya.
Lebih lanjut, Mentan SYL menjelaskan bahwa wilayah dari food estate ini dibangun dalam kawasan perbukitan yang telah diratakan, sehingga kegiatan budidaya hortikultura bisa berlangsung baik tanpa merusak ekosistem lingkungan.
Selain di daerah Humbang Hasundutan, masih banyak juga daerah lain yang disebut memiliki kondisi lahan yang sama. Kondisi lahan di sana dinilai memiliki potensi panen yang besar dan juga berkualitas.
“Di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, sudah banyak lahan yang seperti ini dan itu sama sekali tidak mengganggu hutan. Hanya saja yang ini tidak cukup dengan APBN, tetapi kita butuh dana dari private sector termasuk dana KUR perbankan,” ujarnya.
Sekadar informasi tambahan, dari waktu ke waktu, masalah agraria yang dihadapi Indonesia telah dikaji oleh banyak ahli agraria. Letak masalah pangan, sangat erat kaitannya terhadap akses, sarana, kepemilikan dan pasar. Ketimpangan atas akses dan penguasaan lahan menjadi topik yang tidak ada habisnya.
Tekad yang kuat menyebutkan bahwa ketimpangan tersebut menjadi akar yang berdampak pada kemampuan untuk pemenuhan pangan pada tingkat para petani dan juga masyarakat lokal yang lemah.
Para petani dan masyarakat lokal yang tidak berdaulat atas produksi pangan disebabkan penguasaan lahan dan akses pasar yang juga lemah.