Anak Tiri Itu Bernama Bawang Putih

  • Bagikan
ilustrasi: Bawang putih di pasar
ilustrasi: Bawang putih di pasar

Komoditi cantik, rebutan para importir

Oleh: Ihsan Arham*

Hikayat tutur masyarakat kita menorehkan sebuah kisah populer yang menokohkan bawang merah dan bawang putih. Kisah tersebut menarasikan dua orang gadis cantik kakak beradik yang dengan perangai yang bertolak belakang. Hadir pula tokoh seorang ibu tiri yang tidak adil dan pilih kasih, bawang putih adalah anak tiri.

Layaknya anak, bawang putih tetap menjadi bagian keluarga yang dibanggakan karena kecantikannya. Akan tetapi, tumbuh kembang bawang putih di masyarakat tidak begitu diperhatikan. Justru bawang putih diperlakukan layaknya babu yang melayani kebahagiaan hidup sang ibu tiri dan anaknya yang lain.

****

Hikayat tersebut mengingatkan penulis pada nasib komoditi bawang putih saat ini. Penulis melihat sebuah kesamaan nasib antara komoditi bawang putih di Indonesia dengan kisah tersebut; anak tiri. Bahkan lebih dari itu, pada hikayat tersebut di atas hanya ibu tiri yang berperilaku semena-mena pada bawang putih. Kenyataannya, pengembangan komoditi bawang putih di Indonesia menghadapi pelbagai hambatan dari berbagai pihak.

Komoditi bawang putih adalah komoditi yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Potensi pasar dari komoditi ini terbilang cukup besar. Data yang dihimpun oleh Indonesia Food Watch mengemukakan bahwa konsumsi bawang putih di Indonesia mencapai 503 ribu ton pada tahun 2018, meningkat dari tahun 2017 yang mencapai 483 ribu ton.

Kemampuan produksi bawang putih di Indonesia baru mencapai sekitar 20 ribu ton pada tahun 2018. Perbandingan jumlah antara kebutuhan dan ketersediaan bawang putih tersebut menjadi alasan kuat pemerintah untuk mengimpor bawang putih. Dengan demikian, sekitar 96% bawang putih yang kita nikmati adalah hasil bumi negara lain. China adalah negara penyuplai terbesar dibanding negara lainnya seperti Vietnam, India, dan Amerika.

Tingginya permintaan bawang putih dalam negeri menarik bagi para importir untuk mengenyam pundi keuntungan. Pantauan penulis, harga bawang putih di daerah Jabodetabek saja berkisar antara 42-45 ribu/kg.  Sedangkan harga bawang putih di China saat ini hanya berkisar antara 2,5 sampai 3 yuan/kg atau berkisar antara Rp 5.000 – Rp 6.500 setiap kilogramnya. Kita bisa membayangkan betapa gurihnya bawang putih ini.

Kendali Pemerintah

Pemerintah sebenarnya telah menggalakkan upaya swasembada komoditi bawang putih yang dapat dicapai pada tahun 2021 kelak. Melihat disparitas kebutuhan dengan produktifitas bawang putih nasional rasanya sangat sulit untuk tercapai. Oleh karena itu, pemerintah mengatur para importir bawang putih melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 junto 24 Tahun 2018.

Aturan tersebut mewajibkan importir bawang putih untuk melakukan pengembangan penanaman bawang putih di dalam negeri. Tidak berhenti di situ, jumlah produksi bawang putih yang dilakukan oleh importir harus mencapai 5% dari dari volume yang didapat dari rekomendasi impor (RIPH).

Jika melanggar maka perusahaan importir akan mendapat sanksi berupa pengurangan volume impor bawang putih oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan berdasarkan usul Menteri; dan/atau tidak diberikan RIPH untuk bawang putih paling lama 2 (dua) tahun apabila melanggar 2 (dua) kali berturut-turut. Pertanyaannya, apakah para pelaku perdagangan lintas negara ini telah menjalankan kewajibannya? Jika melihat data produksi bawang putih nasional sangat bisa dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut ingkar pada kewajibannya.

Kemampuan produksi bawang putih di Indonesia rata-rata 10 ton/ha. Jika total izin Impor yang diberikan kepada importir sebesar 500 ribu ton, maka keseluruhan importir harus memproduksi setidaknya 20 ribu ton bawang putih di dalam negeri. Data produksi bawang putih nasional yang telah kami kemukakan di atas memanglah tercapai, tetapi apakah semuanya berasal dari lahan milik perusahaan importir?. Tidak ada jerih payah petani lokal di dalamnya?

Jika para importir turut mengklaim produksi dari petani sebagai penyelenggaraan kewajibannya, tentu saja ini adalah perbuatan yang keji. Begitu juga dengan pihak lain yang memudahkan klaim data tersebut.

Baca Juga: 5 Fakta Dibalik Impor Bawang Putih Di Indonesia

McMahon menulis dalam bukunya, Feeding Frenzy: The New Politics of Food, bahwa perusahaan-perusahaan perdagangan komoditas pangan sangat terkenal akan kerahasiaannya yang ketat. Jejaring perdagangan yang bisa saja menyelinap ke dalam tubuh pengampu kebijakan akan sangat sulit diketahui oleh masyarakat luas. Apalagi jika kita mengorek pertanggung jawaban perusahaan importir bawang putih atas kewajibannya sebagaimana Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 junto 24 Tahun 2018 tersebut di atas.

Ibu Tiri Bawang Putih

Sampai di sini bisa kita duga, siapakah ibu tiri bawang putih di negeri ini layaknya hikayat rakyat tadi? Ibu tiri si bawang putih yang kejam ini menjadi penentu mulusnya bisnis komoditi bawang putih yang mempesona ini. Layaknya perempuan cantik di tanah kaya raya ini, para kartel akan melakukan pendekatan apa saja agar dapat menarik perhatian ibu tiri si bawang putih.

Permainan para kartel tersebut sebenarnya pernah masuk dalam radar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 6 Juni 2017. Laba yang diraup oleh kartel-kartel pada saat itu diduga melambung ke angka Rp19,2 triliun. Keuntungan para kartel tersebut tentunya sebisa mungkin akan dijaga.

Lantas, bagaimana nasib (petani) bawang putih hari ini. Hilal bulan suci Ramadhan pun semakin terasa dekat dengan terbitnya Persetujuan Impor (PI) bawang putih untuk tahun ini bagi delapan importir swasta sejumlah 115.765 ton. Cekikan bagi petani bawang putih lokal tersebut akan terasa sepanjang tahun ini, mengingat izin impornya akan berlaku hingga 31 Desember 2019.

Mimpi swasembada bawang putih 2021 sepertinya akan semakin sulit jika pemerintah tidak tegas menindak para pelaku import yang tidak memenuhi kewajibannya. Untuk persetujuan impor yang kemarin terbit saja, kedelapan perusahaan tersebut harus memproduksi 5% dari jumlah izin atau sebesar 5.789 ton. Jika mengacu pada angka produktifitas nasional maka perusahaan tersebut harus menanam bawang putih di lahan seluas 578 ha.  Akankah terpenuhi?

Pada akhirnya, penulis mengajak pembaca untuk bersama mengungkap siapakah “ibu tiri” yang kejam dalam tumbuh kembang si bawang putih. Hal tersebut harus kita perhatikan bersama agar menjadi dukungan bagi pemerintah dalam menidak tegas para importir yang tidak menjalankan kewajibannya. Dengan demikian, komoditi bawang putih sang anak tiri juga dapat menjadi kebanggan petani lokal. Dapat menjadi lilin di tengah meredupnya nilai tukar petani Indonesia secara umum. (IA)

*) Penulis merupakan peneliti pada Indonesia Food Watch (IFW)

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version