Opini Oleh: Ihsan Arham, S.P., M.Si.
Dosen Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Sulawesi Barat
Di balik geliat pembangunan yang kian masif, Provinsi Sulawesi Barat menyimpan cerita yang tidak banyak terdengar: rusaknya lahan-lahan pertanian akibat ekspansi industri pertambangan. Fenomena ini tidak hanya merusak lanskap ekologis, tetapi juga mengoyak kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat tani.
Sebagai akademisi yang menekuni bidang ekologi pertanian, saya melihat betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh petani di daerah ini. Dalam sepuluh tahun terakhir, lahan pertanian di beberapa kabupaten seperti Mamuju, Mamasa, dan Majene perlahan-lahan berubah menjadi kawasan industri ekstraktif. Ironisnya, perubahan ini kerap terjadi tanpa pelibatan yang memadai dari warga yang terdampak langsung.
Tanah yang Tercederai
Pertanian adalah salah satu tumpuan utama penghidupan masyarakat Sulawesi Barat. Sistem pertanian tradisional yang diwariskan lintas generasi telah terbukti adaptif terhadap kondisi geografis dan ekologis setempat. Namun, kerusakan akibat aktivitas pertambangan—baik legal maupun ilegal—telah mengganggu keseimbangan ini.
Di wilayah Kalukku dan Tapalang Barat, misalnya, warga mengeluhkan sedimentasi berat di jaringan irigasi yang berasal dari aktivitas tambang yang disinyalir berada di wilayah hulu sungai. Hujan yang turun justru memperparah kondisi, sebab air bercampur lumpur menggenangi sawah dan mengikis lapisan tanah subur. Tidak sedikit petani yang mengalami gagal panen atau bahkan meninggalkan lahannya karena tidak lagi produktif.
Lebih dari itu, pencemaran air tanah oleh logam berat seperti merkuri telah menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan jangka panjang.
Ketimpangan dan Kekosongan Perlindungan
Fenomena ini mencerminkan persoalan struktural yang lebih luas: ketimpangan akses dan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Izin usaha pertambangan sering kali diterbitkan tanpa mekanisme partisipatif yang adil. Warga yang terdampak jarang dilibatkan dalam proses perencanaan, dan ketika konflik muncul, suara mereka cenderung diabaikan.
Kondisi ini memperlihatkan lemahnya perlindungan hukum terhadap lahan-lahan pertanian rakyat. Padahal, konstitusi dan berbagai regulasi lingkungan hidup telah dengan jelas menyatakan pentingnya keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Jika dibiarkan, konflik ekologis ini akan meluas menjadi konflik sosial yang sulit dipulihkan. Ketika masyarakat kehilangan tanah, air bersih, dan mata pencaharian, maka hilang pula daya tahan lokal dalam menjaga stabilitas sosial dan pangan daerah.
Pentingnya Koreksi Arah Pembangunan
Sudah saatnya pemerintah daerah dan pusat meninjau ulang arah pembangunan di Sulawesi Barat. Pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan fondasi ekologis yang menjadi penyangga kehidupan. Dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin pertambangan, khususnya yang beroperasi di wilayah tangkapan air, kawasan hutan lindung, dan zona pertanian produktif.
Kebijakan pemetaan wilayah harus berbasis pada kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan. Perguruan tinggi dan lembaga riset lokal perlu dilibatkan dalam proses ini, bukan sekadar sebagai pelengkap, tetapi sebagai aktor utama dalam merumuskan kebijakan berbasis ilmu pengetahuan.
Restorasi kawasan yang rusak juga menjadi agenda mendesak. Skema padat karya berbasis masyarakat lokal untuk rehabilitasi lahan dan sungai bisa menjadi solusi, sekaligus memberikan lapangan kerja yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Tanggung Jawab Moral Akademisi
Sebagai insan akademik, kami memiliki tanggung jawab bukan hanya untuk mengamati dan mencatat, tetapi juga untuk bersuara. Kampus tidak boleh membiarkan suara-suara petani dan warga terdampak lenyap di tengah deru alat berat dan tumpukan dokumen perizinan.
Pertambangan boleh berjalan, tetapi tidak di atas penderitaan rakyat dan kerusakan bumi. Jika tidak dikendalikan, kita sedang mewariskan tanah yang tercemar, udara yang teracuni, dan lahan pertanian yang tidak lagi mampu menumbuhkan kehidupan. Ini bukan sekadar kerugian ekologis, tetapi juga kegagalan moral dan sosial yang akan dikenang generasi mendatang.
***
Catatan redaksi: Penulis adalah dosen pada Program Studi Agroekoteknologi, dan Kepala SDGs Center Universitas Sulawesi Barat. Artikel ini adalah opini pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.