Opini  

Bioteknologi Lokal dan Kedaulatan Inovasi Tanaman: Urgensi Kemandirian Indonesia

Ilustrasi: Pengambilan serbuk sari tanaman padi dalam proses perkawinan silang
Ilustrasi: Pengambilan serbuk sari tanaman padi dalam proses perkawinan silang

Opini Oleh: Dwi Lestari, S.Si, M.Si.
Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin

Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki potensi luar biasa untuk menjadi pemimpin dalam pengembangan bioteknologi tanaman. Namun, hingga hari ini, peran Indonesia dalam lanskap global bioteknologi masih cenderung sebagai konsumen teknologi, bukan produsen inovasi.

Hal tersebut menjadi persoalan strategis, terutama dalam konteks ketahanan pangan, kemandirian benih, dan kedaulatan teknologi pertanian nasional. Tentunya, ini akan memberikan pengaruh terhadap kondisi pertanian dan petani di Indonesia.

Ketergantungan pada Bioteknologi Asing
Salah satu ironi besar dalam sistem pertanian kita adalah tingginya ketergantungan terhadap benih dan teknologi hasil rekayasa genetik (GMO) dari luar negeri. Banyak petani menggunakan benih yang tidak bisa diperbanyak sendiri (non-reproducible hybrids), yang dikembangkan oleh perusahaan multinasional. Produk-produk tersebut datang dengan hak paten dan lisensi yang ketat, membatasi ruang gerak inovasi lokal serta menggerus kemandirian petani.

Fenomena ini mencerminkan asimetrisnya ekosistem inovasi di Indonesia. Kita memiliki sumber daya genetik (plasma nutfah) yang melimpah, seperti padi lokal, jagung, kedelai, hingga tanaman hortikultura unik dari berbagai daerah. Namun, nilai tambah dari sumber daya tersebut masih banyak dinikmati oleh aktor luar negeri, karena lemahnya kapasitas hilirisasi dan sistem pendukung riset dalam negeri.

Bioteknologi Lokal: Potensi yang Belum Tereksplorasi Penuh
Bioteknologi tanaman mencakup berbagai pendekatan, mulai dari seleksi berbasis penanda molekuler (marker-assisted selection), kultur jaringan, pengeditan gen (seperti CRISPR-Cas), hingga rekayasa genetik transgenik. Sebagian besar teknologi ini sebenarnya sudah dikembangkan di banyak universitas dan lembaga penelitian Indonesia.

Sebagai contoh, beberapa perguruan tinggi telah menghasilkan tanaman tahan kekeringan, salinitas, hingga penyakit spesifik lokal menggunakan teknik kultur jaringan dan seleksi berbasis DNA. Namun, kendala utama yang sering dihadapi adalah fragmentasi riset, keterbatasan dana riset hilirisasi, lemahnya kolaborasi dengan sektor industri, serta belum optimalnya dukungan kebijakan publik terhadap komersialisasi inovasi dalam negeri.

Kolaborasi Akademisi sebagai Kunci Strategis
Dalam menghadapi tantangan tersebut, kolaborasi antar akademisi lintas institusi dan disiplin ilmu menjadi kunci utama untuk memperkuat ekosistem bioteknologi lokal. Tidak cukup jika inovasi hanya dikembangkan di ruang-ruang laboratorium universitas; hasil riset harus terkoneksi dengan kebutuhan masyarakat, dunia usaha, dan kebijakan publik.

Akademisi perlu memperkuat jejaring kolaboratif antara perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan lembaga pemerintah, termasuk dalam bentuk konsorsium riset nasional yang terfokus pada pengembangan varietas lokal berbasis bioteknologi. Kolaborasi ini juga harus melibatkan peneliti sosial, ahli kebijakan, dan ekonom pertanian agar inovasi yang dikembangkan tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga layak secara sosial dan ekonomi.

Lebih dari itu, diperlukan pendekatan riset transdisipliner yang mengintegrasikan pemuliaan tanaman, genetika molekuler, teknologi bioinformatika, serta aspek legal dan etika. Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan global seperti biopiracy, paten genetik, dan ketimpangan akses terhadap teknologi pertanian modern.

Kemandirian sebagai Agenda Nasional
Kemandirian dalam inovasi bioteknologi tanaman bukan berarti menutup diri dari kolaborasi internasional, tetapi menempatkan ilmu pengetahuan lokal sebagai fondasi pembangunan pertanian nasional. Negara-negara seperti India, Brasil, dan Tiongkok telah menunjukkan bahwa investasi jangka panjang dalam riset bioteknologi domestik dapat menghasilkan ketahanan pangan yang lebih kokoh dan posisi tawar lebih tinggi dalam perdagangan global.

Bagi Indonesia, mendorong bioteknologi lokal berarti memberi ruang lebih besar bagi ilmuwan dan akademisi untuk mengembangkan varietas unggul berbasis kebutuhan agroekologi dan sosial-ekonomi lokal. Misalnya, pengembangan padi toleran rendaman untuk daerah pasang surut, atau jagung tahan kekeringan untuk lahan marginal di Nusa Tenggara. Ini adalah bentuk nyata dari inovasi kontekstual, yang tidak selalu bisa dipenuhi oleh teknologi impor.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya, baik genetik maupun intelektual. Yang dibutuhkan adalah keberanian kolektif untuk merancang arah pembangunan bioteknologi yang mandiri, berbasis kebutuhan lokal, dan tidak terjebak dalam ketergantungan struktural terhadap teknologi luar. Kolaborasi antar akademisi—dengan dukungan sistemik dari negara dan industri—harus menjadi tulang punggung gerakan ini.

Sudah saatnya kita berhenti menjadi pasar, dan mulai menjadi pencipta.

Salurkan Donasi

Exit mobile version