Mediatani – Anjing kintamani telah diakui sebagai salah satu anjing ras dunia asal Indonesia yang diketahui ada di Bali sejak lebih dari 3000 tahun silam. Pengakuan itu dikeluarkan Federasi Kinologi Internasional (Federation Cynologique Internationale/FCI) pada pada 20 Februari 2019, lalu.
FCI merupakan sebuah organisasi internasional yang menaungi tentang keturunan atau trah anjing global dan berpusat di Thuin, Belgia. FCI mengakui bahwa anjing kintamani sebagai trah dunia yang berarti anjing kintamani asal Indonesia saat ini sejajar dengan trah anjing dunia semisal chow-chow dari Tiongkok, akita inu (Jepang), dan samoyed (Rusia).
Memiliki bulu lebat dan tubuh yang tegap
Melansir dari kompas.com, Sabtu (20/3/2021), Anjing kintamani ialah anjing pegunungan. Kintamani sendiri berlokasi di lembah Gunung Batur, Bali. Tepatnya di Desa Sukawana, Kabupaten Bangli yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Denpasar.
Desa ini sejuk dan berada pada ketinggian 1.717 meter di atas permukaan laut dan dihuni sekitar 6.000 jiwa dalam 9 banjar. Di Desa Sukawana pula terdapat Danau Batur yang memiliki kaldera seluas 16 km2.
Anjing kintamani berbeda bentuk dan ukurannya dengan anjing lokal yang ada. Secara kasat mata, kintamani bisa dikenali dengan bulu yang lebat khas anjing pegunungan dan tubuh tegap yang gagah.
Bulu tebal itu pula tampak pada ekor tegak yang membentuk sudut 45 derajat atau sedikit melengkung. Umumnya warna bulu anjing kintamani adalah putih polos atau hitam pekat.
Ada juga cokelat dan poleng seperti warna anggrek. Mata ovalnya seperti kacang almon dengan bola mata cokelat gelap ikut memperkuat ketegasan bentuk anjing asli Bali itu.
Ciri lainnya ialah bentuk telinga berdiri seperti huruf V terbalik dengan ujungnya membulat dan berwarna merah oranye.
Hidung anjing kintamani berwarna hitam kecokelatan dan bibir cokelat kehitaman. Sifat umum lainnya adalah pemberani, tangkas, waspada, dan rasa curiga yang cukup tinggi.
Anjing ini pula dikenal sebagai penjaga andal, pengabdi yang baik kepada pemiliknya atau yang merawatnya. Selain itu, anjing ini suka menyerang anjing atau hewan lain yang memasuki wilayahnya dan juga menggaruk-garuk tanah sebagai tempat perlindungan.
Pergerakannya bebas, ringan, dan lentur. Ia akan membuat sarang di bawah tanah saat akan melahirkan anak-anaknya.
Oleh FCI, anjing kintamani masuk pada Group V yaitu anjing spitz atau anjing ras berbulu tebal dan panjang dengan ekor lebat melengkung ke punggung serta telinga kecil berdiri. Spitz ialah kata dalam bahasa Jerman yang berarti tajam atau runcing.
Kawin silang chow-cow dengan anjing lokal
Kisah mengenai asal usul anjing kintamani tercantum lengkap dalam sebuah penelitian berjudul The Kintamani Dog: Genetic Profile of an Emerging Breed from Bali, Indonesia.
Pada penelitian yang dilakukan I Ketut Puja pada tahun 2005, dijelaskannya bahwa anjing kintamani tergolong anjing purba (ancient dog), yakni anjing lokal yang telah kehilangan ragam genetikanya sejak ribuan tahun silam.
I Ketut Puja adalah peneliti anjing kintamani dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar.
Diceritakan, kintamani merupakan hasil kawin silang chow-chow dengan anjing lokal. Kala itu sekitar tahun 1400, seorang pedagang asal Tiongkok pindah ke Bali sambil membawa serta anjing chow-chow miliknya.
Si pedagang ini pun menikahi salah satu anggota keluarga Raja Jaya Pangus dan menetap di kawasan sejuk Kintamani. Seperti mengikuti jejak tuannya, anjing chow-chow ini pun melakukan kawin silang dengan jenis lokal sehingga muncul kuluk gembrong.
Meski demikian, dalam penelitian lainnya terdapat temuan menarik karena secara genetika anjing kintamani memiliki kedekatan dengan dingo, anjing liar benua Australia.
Secara sekilas ciri-ciri anjing kintamani mirip serigala dan dingo. Anjing kintamani pun mirip dengan anjing bernyanyi papua (papua singing dog) yang masih berkerabat dengan dingo.
Kemiripan anjing kintamani dan dingo mendukung teori selama ini bahwa dingo berasal dari anjing Asia Timur yang mengikuti ekspansi manusia Austronesia ke pulau-pulau di Asia Tenggara.
Dingo Australia telah diisolasi dari populasi induknya selama 5.000 tahun silam, begitu pula dengan anjing kintamani.
Dalam teori ini pun disebutkan bahwa posisi Desa Sukawana yang dikelilingi Bukit Penulisan dan lembah Batur memberi tantangan dan penghalang bagi anjing kintamani. Hal ini menyebabkan mereka terisolasi untuk berkembang dan kawin dengan anjing jenis lainnya dari luar Sukawana selama ribuan tahun.
Pula, hal tersebut membuat jenis anjing kintamani lebih seragam bentuknya sejak ribuan tahun lampau hingga sekarang dan menjadi endemik Sukawana serta trah anjing pertama asli Indonesia. Akan tetapi, saat ini anjing kintamani sudah tersebar ke sejumlah daerah. (*)