Mediatani – Ancaman akan inflasi global membuka babak baru pembahasan subsidi dan stok cadangan pangan di World Trade Organization (WTO). Indonesia dan 59 negara lainnya mengharapkan agar WTO melonggarkan regulasi subsidi dan cadangan demi memastikan ketahanan stok dan kesejahteraan petani dalam negeri.
Hal tersebut merupakan salah satu dari tiga draf yang tengah dibahas WTO. Ketiga draf tersebut di antaranya, rancangan deklarasi menteri terkait perdaganan dan ketahanan pangan, rancangan keputusan menteri terkait reformasi perdaganan, serta rancangan deklarasi menteri terkait pembebasan komoditas pangan yang dibeli World Food Programme (WFP) PBB dalam tujuan kemanusiaan dari larangan ekspor.
Pembahasan tersebut diangkat dalam pertemuan ketua delegasi negara-negara WTO di Geneva, Swis pada 1-2 Juni 2022. WTO mengharapkan agar draf tersebut dapat selesai dan disepakati dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-12 pada 12-15 Juni di Geneva.
Ketua Negosiasi Bidang Pertanian WTO sekaligus Duta Besar Kosta Rika untuk WTO Gloria Abraham Peralta mengatakan, pembahasan ketiga draf tersebut begitu penting dalam mengamankan arus rantai pasok pangan dan mengurangi distorsi perdagangan.
Draf tersebut juga mempertimbangkan akan kebutuhan pangan bagi negara-negara kurang berkembang (LDCs) dan negara-negara berkembang yang mengimpor pangan bersih (NFIDCs).
”WTO juga akan memastikan pembebasan pembatasan ekspor komoditas pangan yang dibeli oleh WFP tidak akan memengaruhi hak anggota untuk membuat kebijakan domestik guna memastikan ketahanan pangan di dalam negeri,” ungkap Abraham dalam siaran pers, Kamis (2/6/2022).
Dalam pembahasan tersebut, kelompok G33, termasuk Indonesia, India, Pakistan, China, dan Mesir, serta negara-negara di Afrika, Karibia, dan Pasifik, mengharapkan adanya solusi permanen terhadap subsidi dan cadangan stok pangan.
Saat ini WTO dianggap perlu merubah regulasi lama tentang subsidi dan cadangan pengan di tengah ancaman akan inflasi pangan dan energi, serta restriksi pangan.
Para perwakilan dari negara-negara tersebut meminta kebijakan subsidi dan cadangan pangan mempertimbangkan dan memperhitungkan tingkat inflasi dan didasarkan pada harga referensi baru.
Mereka menyarankan perlunya dibuat suatu metodologi baru dalam mengalkulasi subsidi dengan mempertimbangkan tingkat inflasi dalam penentuan harga referensi eksternal (External Reference Price/ERP) atau yang didasarkan pada perkembangan harga komoditas pangan dalam lima tahun terakhir.
Selama ini, WTO mengamanatkan bahwa subsidi dan cadangan pangan yang dihasilkan oleh setiap negara tidak boleh melanggar 10 persen dari nilai produksi berdasarkan ERP 1986-1988. Sampai dengan saat ini, ERP tersebut belum mengalami pembaharuan.
Mereka, terutama India, juga menyarakan agar klasifikasi komoditas yang diperbolehkan untuk disubsidi atau yang tidak diizinkan. Dalam terminologi WTO, subsidi diidentifikasikan dengan ”kotak-kotak” yang disesuaikan dengan warna lampu lalu lintas. Hijau berarti diizinkan, kuning berarti dikurangi, dan merah berarti dilarang.
Selain itu, terdapat juga kotak biru sebagai subsidi yang terkait dengan program atau kebijakan pembatasan produksi. Ada juga kotak pengembangan yang disebut dengan S&D (special and differential treatment provisions) bagi negara-negara bekembang dan yang berpenghasilan rendah.
Sebelumnya, Indonesia sebenarnya telah lebih dulu mengusulkan solusi sementara dalam mengatasi perbedaan subsidi pangan antar negara anggota WTO pada Desember 2013 di Bali. Solusi tersebut tertuang dalam Klausul Perdamaian.
Klausul tersebut menetapkan bahwa tidak ada negara yang secara hukum dilarang dari program ketahanan pangan untuk rakyatnya, bahkan jika subsidi tersebut melanggar batas yang telah ditentukan dalam Perjanjian WTO tentang Pertanian.