Mediatani – Pasca terjadinya Badai Seroja yang melanda wilayah Kabupaten Rote pekan lalu, sebuah pulau baru diketahui muncul di wilayah tersebut.
Namun, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menginginkan agar pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) turun untuk melakukan riset terkait peristiwa tersebut. Hal itu diungkapkan oleh juru bicara Pemerintah Provinsi NTT, Marius Ardu Jelamu, dilansir dari Kompas, Sabtu (17/4/2021) malam.
“Memang di Pulau Rote muncul sebuah pulau, sehingga perlu dilakukan penelitian ilmiah secara geologis. Kita harapkan para peneliti dari LIPI untuk datang guna melakukan riset ilmiah terkait fenomena munculnya pulau ini,” ungkap Marius.
Menurutnya, hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Rote Ndao belum memberikan laporan resmi mengenai munculnya pulau baru. Pihaknya, lanjut Marius, hanya mengetahui fenomena kemunculan pulau itu melalui pemberitaan media massa.
Marius mengatakan bahwa pulau baru itu telah menimbulkan sejumlah spekulasi. Di antaranya pulau itu diperkirakan muncul akibat pengaruh gelombang tinggi disertai puting beliung yang terjadi ketika badai Seroja.
“Apakah ketika Badai Seroja melewati laut dan pada saat yang sama putaran angin itu menciptakan satu lubang sehingga sedimen dari dasar laut terangkat ke atas sehingga membentuk pulau baru,” kata Marius.
Lebih lanjut Marius menjelaskan bahwa belum ada yang mengetahui pasti apakah kemunculan pulau tersebut disebabkan karena dibawahnya terdapat tumpukan sampah, atau karena tanah itu terbawa dari daratan akibat gelombang pasang.
Untuk itu, kata Marius, perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut oleh para peneliti untuk mengetahui jelas penyebab munculnya pulau itu. Marius menyebut, kejadin ini menjadi pertanyaan yang perlu diajukan untuk merangsang riset ilmu pengetahuan di waktu yang akan datang.
“Kita harapkan ada riset dari peneliti LIPI sehingga bisa menjelaskan kepada publik karena ini fenomena alam yang menarik,” ungkapnya.
Untuk diketahui, calon pulau baru tersebut lebih tepatnya ditemukan di perairan wilayah Dusun Sai, Desa Tolama, Kecamatan Loaholu, Kabupaten Rote Ndao yang merupakan bagian dari wilayah Taman Nasional Perairan Laut Sawu.
Masyarakat sekitar menduga gundukan pasir dan batu karang tersebut muncul setelah usainya badai siklon tropis Seroja yang melanda daerah mereka. Gundukan pasir dan batu karang pertama sekali mereka temukan itu terlihat pada hari Jumat tanggal 2 April 2021.
Berdasarkan informasi masyarakat sekitar, Tim dari BKKPN Kupang telah berupaya memastikan gambaran gundukan pasir dan batu karang tersebut dengan melakukan pemantauan menggunakan drone.
Dari hasil pemantauan drone di wilayah tersebut, terlihat ada 6 gundukan, dengan 5 gundukan yang tidak terlalu menonjol alias cenderung rata dengan rataan terumbu.
Tim BKKPN Kupang yang menindaklanjuti hasil gambaran drone, selanjutnya melakukan ground check langsung kelokasi gundukan. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, terdapat gundukan tanah yang paling tinggi yaitu sekitar 2,5 meter pada koordinat S 10.75154 dan E 122.88319 dengan posisi yang melandai ke arah laut.
Juru Bicara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Wahyu Muryadi menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan pengecekan dan klarifikasi lebih lanjut terkait kemunculan gundukan tersebut. Pasalnya, ada beberapa syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi suatu wilayah disebut pulau.
“Semua kondisi fenomena alam itu akan dicek. Karena ada prasyarat tertentu jika sebuah wilayah dikatakan sebagai pulau. Nanti hasilnya saya kabari,” kata Wahyu dilansir dari Kompas, Jumat (16/4/2021).
Wahyu menjelaskan, kategori sebuah wilayah disebut sebagai pulau harus sesuai dengan ketentuan hukum internasional UNCLOS 82. Definisi pulau menurut UNCLOS adalah daratan yang terbentuk secara alami yang pada saat terjadi air pasang, daratan tersebut tidak tenggelam.
Adapun syarat yang harus dipenuhi sebuah wilayah untuk dinyatakan sebagai pulau antara lain, terjadi secara alami, bukan buatan manusia, pada saat surut masih dikelilingi oleh air, dan pada saat pasang masih muncul di permukaan air.
“Ukuran luas tidak menjadi pembatas, artinya ukuran 1 meter persegi selama terpisah dari daratan dan tetap muncul dipermukaan air, maka dapat disebut pulau,” ujar Wahyu.
Sementara itu, kaidah umum lainnya dalam proses pembakuan nama rupabumi unsur pulau atau penamaan pulau diatur dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.
“Jadi kita harus melaporkan pulau ke PBB, rujukan yang dipakai adalah konvensi hukum laut PBB 1982,” ungkap Wahyu.
Wahyu menambahkan bahwa KKP sudah mengutus tim gabungan untuk melakukan pengecekan dan mengklarifikasi lebih lanjut kondisi pulau baru tersebut. Tim gabungan tersebut terdiri dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) termasuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL).
Munculnya wilayah yang diduga pulau baru tersebut diklarifikasi dengan melakukan pengecekan lapangan dengan bantuan dari Tim dari Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang (BKKPN Kupang).
“Lokasi pengecekan lapangan dilakukan berdasarkan informasi masyarakat sekitar yang menemukan pertama sekali gundukan yang diduga pulau tersebut,” pungkas dia.