Mediatani – Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengembangkan desa adalah dengan mendukung produk olahan yang dibuatnya.
Hal tersebutlah yang juga diupayakan oleh tim Pengabdian kepada Masyarakat (Abmas) dari Departemen Teknik Mesin Industri Fakultas Vokasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya di Desa Rejosari, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang Jawa Timur.
Tim ITS tersebut memberikan bantuan berupa sebuah alat pengering mi porang. Inovasi tersebut dirancang oleh gabungan tim yang terdiri dari 15 mahasiswa dan seorang dosen pendamping, Nur Husodo.
Ketua tim Abmas ITS, Anastyar Titanullah mengungkapkan bahwa timnya memilih Desa Rejosari karena merupakan salah satu desa penghasil tanaman porang terbesar di Kabupaten Malang.
“Bahkan ibu-ibu rumah tangga di Desa Rejosari sendiri sudah memiliki merek untuk produk-produk olahan ini, yaitu Akhoya,” kata Anastyar dilansir dari SariAgri, Kamis (20/5).
Anastyar menjelaskan bahwa bagian tanaman porang yang dimanfaatkan untuk membuat berbagai produk olahan adalah umbinya. Beberapa produk olahan yang dibuat dari umbi porang diantaranya, seperti ice cream porang, mi porang, bakso porang, stick porang, dan dodol porang.
Dari berbagai produk olahan tersebut, jenis produk yang menjadi unggulan di desa ini adalah mi porang. Namun, produk mi porang yang dipasarkan oleh ibu-ibu rumah tangga di desa ini masih dalam bentuk basah.
Karena bentuk produk yang basah itu bersifat tidak tahan lama, mi porang dari Desa Rejosari ini hanya dapat menjangkau daerah-daerah sekitar saja.
Anastyar mengatakan Kelompok Pengelola Hutan Rakyat (KPHR) Alam Makmur memberi masukan untuk menjadikan produk mi yang basah itu menjadi mi yang kering supaya tahan lebih lama, sehingga dapat menjangkau daerah pemasaran yang lebih jauh lagi.
Meski demikian, lanjut Anastyar, membuat produk mi kering itu membutuhkan teknik pengeringan yang khusus. Mie porang yang dikeringkan dengan sinar matahari dinilai kurang efektif dan memiliki beberapa kekurangan. Selain dipengaruhi oleh faktor cuaca, lamanya durasi pengeringan juga dinilai tidak efisien.
Untuk itu, mi porang yang diproduksi Desa Rejosari ini masih membutuhkan inovasi berupa suatu rancangan proses pengeringan yang efektif.
“Setelah kami komunikasikan dengan mitra industri makanan olahan Desa Rejosari, kami merancang alat pengering dengan model kabinet yang menggunakan metode konveksi paksa, dan dilengkapi dengan termometer,” ujarnya.
Dia menyebutkan, alat pengering yang dirancang itu menggunakan Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebagai bahan bakarnya. Alat itu dilengkapi dengan model kabinet yang berfungsi seperti kotak oven yang berisi loyang-loyang sebagai media pengeringan mi.
“Namun yang menjadi state of the art dari inovasi ini adalah pemanfaatan metode konveksi paksa yang hanya membutuhkan waktu satu jam untuk pengeringannya,” ucapnya.
Pengaplikasian alat ini menggunakan metode konveksi paksa dengan menghembuskan uap panas dari air blower yang terlebih dahulu telah dipanaskan. Dengan cara tersebut, panas yang dihasilkan dapat disalurkan secara langsung, sehingga dapat mengurangi terjadinya penumpukan uap jenuh.
“Teknik pengeringan seperti ini bisa berlangsung lebih cepat dan efektif dibandingkan oven konvensional,” jelasnya.
Setelah alat ini diaplikasikan dan dilakukan monitoring, akan terlihat perubahan yang cukup signifikan. Hal ini diindikasikan dengan produktivitas mitra yang meningkat, sehingga jangkauan dan jumlah produk olahan yang dipasarkan turut meningkat.
“Walaupun begitu, penyempurnaan teknis masih diperlukan, sehingga kami akan terus memantau performa alat tersebut,” bebernya.
Dengan adanya alat tersebut, dia berharap proses produksi mi porang dapat lebih mudah dilakukan dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Desa Rejosari juga turut mengalami perkembangan yang pesat.
“Sangat diharapkan juga alat ini dapat dikembangkan lagi dengan menerapkan Revolusi Industri 4.0. Tujuannya untuk menunjang produksi mi yang lebih revolusioner,” ucap dia.