Mediatani – Permasalahan yang belakangan ini sering terjadi khususnya di Indonesia adalah alih fungsi lahan. Seperti yang terjadi di salah satu kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu Kota Mataram. Dari tahun ke tahun, Lahan pertanian di Kota Mataram ini kian menyusut.
Dilansir dari Jawapos.com, H. Mutawali selaku Kepala Dinas Pertanian Kota Mataram yang mengungkapkan bahwa masih ada sekitar ratusan hektar lahan pertanian yang kemungkinan masih beralih fungsi. Diketahui data menunjukkan luas lahan pertanian di tahun 2020 adalah 1.513 hektar, namun sekarang hanya tersisa 1.483 hektar saja.
“Sekarang hanya tinggal 1.483 hektare dari tahun sebelumnya 1.513 hektare,” jelas Kadis Pertanian Kota Mataram.
Hal ini berarti, sekitar tiga puluh hektare lahan telah beralih fungsi hanya dalam kurun waktu satu sampai dua tahun saja. Sebagian besar lahan pertanian di alih fungsikan untuk kepentingan membangun perumahan, membangun perkantoran hingga ruko (rumah toko).
Mutawali juga mengungkapkan bahwa cukup banyak pembangunan yang kemudian menggangu jaringan saluran irigasi pertanian.
“Ini memang banyak mengganggu saluran irigasi pertanian. Ini kami sangat sayangkan,” ungkapnya.
Terkait hal ini, Dinas Pertanian Kota Mataram tidak bisa berbuat lebih banyak. Hal ini karena izin dari pembangunan gedung tidak dikeluarkan oleh Dinas Pertanian tetapi melalui Dinas PUPR Kota Mataram terkait Izin Mendirikan Bangunan (IMB( hingga DPMPTS Kota Mataram.
“Bukan kewenangan kami. Karena itu kan IMB. Bahkan kami tiba-tiba dapat rekomendasi itu (saluran irigasi) akan ditutup tetapi dengan berbagai solusi. Misalnya di atasnya akan dibuat plat,” ungkap Mutawali.
Sehingga Dinas Pertanian Kota Mataram menyampaikan harapannya bahwa saat terjadi alih fungsi lahan, yang harus diperhatikan adalah dampak terhadap saluran irigasinya. Tidak hanya itu, Mutawali juga menjelaskan bahwa kegiatan alih fungsi lahan ini kemungkinan masih terjadi di Mataram.
Hal ini bersumber dari aturan pusat dan provinsi, bahwa Kota Mataram diberikan batas lahan seluas 509 hektare untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Sehingga masih tersisa 974 hektar lahan pertanian yang memungkinkan terjadinya alih fungsi lahan.
Merespon hal ini, Sahdan, sebagai salah satu petani yang ditemui oleh tim Lombok Post di Jempong mengaku bahwa lahan pertanian yang ada di wilayah tersebut memang sudah sangat menyusut. Menurutnya, sudah banyak lahan pertanian khususnya yang ada di Jalur Lingkar Selatan yang kini di alih fungsikan menjadi gedung perkantoran bahkan perusahaan.
“Ini saja lahan yang saya garap tempat menanam sayur ini sudah jadi milik pengusaha. Saya sewa di dia,” beber Sahdan.
Lebih lanjut Sahdan menambahkan bahwa banyak warga yang berada di daerahnya yang semula mempunyai lahan pertanian di Jalur Lingkar Selatan bahkan kini sudah tidak lagi memiliki sawah. Mereka semua menyewa lahan pertanian yang telah dibeli oleh para pengusaha sehingga menggarap sawah dengan sistem bagi hasil.
“Rata-rata sudah dimiliki pengusaha semua (lahan pertanian di Jalur Lingkar Selatan),” ungkap Sahdan.
Sahdan juga mengakui bahwa saluran irigasi di sawah yang ada di Jalur Lingkar Selatan telah banyak tertutupi oleh bangunan gedung. Sehingga para petani kini akhirnya memanfaatkan sumur air dangkal untuk memenuhi kebutuhan air untuk menyiram tanamannya.
Kegiatan alih fungsi lahan ini sangat tidak menguntungkan para petani dan mereka yang menggantungkan harapannya di sawah. Salah satu faktor yang harus diperhatikan ketika hendak melakukan kegiatan alih fungsi lahan adalah, potensi yang dimiliki oleh sektor pertanian ini yang sangat baik. Sehingga sangat disayangkan ketika akan dialih fungsikan.