Mediatani – Program budidaya ikan Kerapu yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di beberapa titik perairan, dinilai harus dievaluasi dan membutuhkan kajian intensif. Bahkan, sejumlah anggota DPRD menilai program tersebut telah gagal.
Salah satu program budidaya kerapu yang dimaksud, yakni yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan di Teluk Wae Kelambu, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Provinsi NTT.
Juru Bicara Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Drs. Johanis Lakapu, saat menyampaikan pandangannya terhadap LKPJ Gubernur NTT, Senin 28 Juni 2021, mengungkapkan bahwa program budidaya ikan Kerapu di Labuan Kelambu telah menghabiskan dana sebesar Rp7,8 Miliar.
Namun, menurut Johanis, program tersebut mengalami kerugian dan tidak memberi dampak bagi peningkatan PAD dan kesejahteraan masyarakat nelayan yang berada di sekitar kawasan Teluk Wae Kelambu.
“Kondisi ini mencerminkan kegagalan pemerintah, dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT terkait budidaya ikan kerapu,” ujar Johanis, dilansir dari Metrobuananews, Rabu, (28/6/2021).
Untuk itu, ia meminta agar pemerintah lebih memperhatikan hal tersebut dengan melakukan kajian intensif. Langkah tersebut, menurutnya perlu dilakukan agar program ini selanjutnya tidak kembali mengalami kerugian.
“Hakekat dari investasi adalah “Tanam uang panen uang”, jangan “tanam uang panen masalah seperti ini,” tuturnya.
Fraksi PDI Perjuangan juga menyuarakan hal yang sama. Juru Bicara Fraksi PDIP, Adoe Yuliana Elisabeth meminta Pemprov NTT melakukan evaluasi terhadap pencapaian prospek pendapatan daerah dan hasil yang dapat dirasakan masyarakat.
Perlu diketahui, dari total anggaran Rp7,8 miliar yang bersumber dari alokasi APBD Tahun Anggaran 2019 dan APBD Perubahan Tahun Anggaran 2020, panen yang dilakukan hanya menghasilkan Rp78,6 juta.
“Dari penjelasan diatas, Fraksi PDI Perjuangan menilai program ini tidak memenuhi unsur kepatutan untuk dilanjutkan,” tegasnya.
Sementara itu, pengajar ekonomi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Stanis Man, menyebutkan, total pinjaman Pemprov NTT yang senilai Rp 1,5 triliun untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam penanggulangan masalah Covid-19 itu merupakan hal yang bagus karena dapat membantu pembangunan daerah dari berbagai aspek, seperti infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Meski demikian, menurut Stanis, perlu ada tim independen yang melakukan kajian dan analisis terhadap investasi senilai Rp 156 miliar dari total pinjaman Rp 1,5 triliun itu di perairan Labuan Kelambu, perbatasan Ngada dan Manggarai Timur, Mulut Seribu di Rote, Semau dan Hadakewa di Lembata.
Ia meminta Pemprov untuk tidak menggunakan tim analisa yang berasal dari organisasi perangkat daerah sendiri, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan atau Bappelitbangda.
”Mungkin saja investasi itu tidak layak, tetapi karena perintah pimpinan, mereka bilang layak,” katanya, Dilansir dari Kompas, Jumat (25/6/2021).
Jika tim independen dilibatkan dalam studi kelayakan, hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi, pemprov sudah melakukan investasi dengan berpedoman pada hasil analisa internal Pemprov NTT.
”Kegiatan melepasliarkan bibit kerapu 1 juta ekor di perairan terbuka di Labuan Kelambu, bagaimana mempertanggungjawabkan,” ujar Stanis Man.
Meski hampir semua Fraksi di DPRD NTT menilai program budidaya kerapu tersebut telah gagal, namun Kepala dinas kelautan dan perikanan provinsi NTT, Ganef Wurgiyanto, mengatakan bahwa program budidaya ikan kerapu itu tidak gagal karena baru panen perdana.
“Perlu saya sampaikan bahwa investasi ikan kerapu itu tidak gagal karena baru panen perdana. Nanti akan ada panen kedua dan ketiga,” ujar Ganef, Senin (28/6/2021).
Ganef Wurgiyanto menyampaikan, ikan kerapu yang dipanen pihaknya di Labuan Kelambu itu ada sekitar 1,9 ton atau 4.000 ekor. Dari jumlah 1,9 ton ini, sebanyak 1,21 ton dikirim ke Bali dijual dengan harga Rp 45.000 per kg, sisa 690 kg atau 400 ekor dijual ke penampung ikan di Riung, Ngada, seharga Rp 35.000 per kg.
Dengan demikian, total penjualan ikan hasil panen perdana kerapu yang masing-masing di Bali senilai Rp 54,5 juta dan di Ngada senilai Rp 24,1 berjumlah Rp 78,6 juta. Sementara investasi ikan kerapu di Labuan Kelambu senilai Rp 7,8 miliar.
Berat ikan kerapu yang dipanen itu rata-rata 500 gram per ekor. Target awal, ikan itu dipanen setelah delapan bulan dengan berat sekitar 800 gram per ekor.
Ikan yang dipanen perdana tersebut berasal dari 7.000 ekor yang dibudidaya di dalam keramba, sedangkan 1 juta ekor ditebar di laut bebas. Harapannya, pelepasan ikan di laut ini dapat menjadi indukan utama yang bisa menghasilkan ikan kerapu dengan jumlah yang jauh lebih banyak di wilayah itu.