Mediatani – Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan sungguh beruntung. Dari hutan di Kalimantan, pada 15 Oktober 2020 lalu, mereka menjumpai jenis burung yang tak dikenali. Dengan rasa penasaran, mereka kemudian menangkap jenis burung itu.
Mereka menangkap dengan maksud untuk mengabadikan gambar. Usai memotret burung itu dari berbagai sudut, mereka lalu melepasnya. Selanjutnya, keduanya pun melaporkan temuannya itu ke kelompok pengamat burung, BW Geleatus.
Alhasil foto-foto burung itu pun menjadi perbincangan hangat di kelompok Geleatus. Pada 8 Oktober 2020, para pengamat burung ini pun membuat grup WA khusus dengan nama ‘New Species’.
Perbincangan dalam grup semakin intensif. Disadur Minggu (7/3/2021) dari situs mongabay.co.id, Mohammad Irham, Peneliti Ornitologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], pada 9 Oktober 2020 menyatakan, burung itu dari keluarga Malacocincla.
Sehari berikutnya, Panji Gusti Akbar, dari Kelompok Ornitologi Indonesia Birdpacker mencurigai burung itu adalah pelanduk kalimantan [Malacocincla perspicillata].
“Saya curiga ini burung pelanduk kalimantan, namun sempat ragu karena morfologinya agak berbeda dengan spesimen yang ada di Museum Naturalis Biodiversity Center di Leiden, Belanda. Namun begitu, tak ada burung lain yang mirip selain pelanduk kalimantan tersebut,” tutur Panji kepada Mongabay Indonesia, Selasa [02/3/2021], dikutip mediatani.co, Minggu (7/3/2021).
Spesies pelanduk kalimantan di museum memang memiliki mata kuning, namun dijelaskan Panji, itu adalah mata palsu karena mata memang tidak bisa diawetkan. Sementara itu, paruh dan kakinya berwarna agak kemerahan karena disporasi dalam proses pengawetan.
Ia lalu berkonsultasi dengan banyak peneliti ornitologi, dan hasilnya, semua yakin burung tersebut adalah jenis pelanduk kalimantan.
“Akhirnya kami sepakat bikin paper yang akhirnya dipublikasikan di Jurnal Birding Asia Vol. 34 tahun 2020,” terang Panji yang juga menjadi penulis di laporan tersebut.
Penemuan bersejarah
Temuan burung yang dalam Bahasa Inggris disebut Black-browed babbler ini mengejutkan para ahli biologi, sebab satwa langka itu selama 172 tahun lalu telah menghilang.
Menurut Teguh Willy Nugroho, Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] Pertama Balai Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, semua bermula pada tahun 1840-an, ketika Ahli Geologi dan Naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwarner mengumpulkan berbagai spesimen.
Salah satunya adalah Malacocincla perspicillata. Kemudian digambarlah burung itu oleh ornitologi asal Prancis, Charles Lucian Bonaparte, sekitar tahun 1850.
“Namun ada mislabel spesimen di Belanda, karena diambil di Pulau Jawa. Tahun 1895, Ahli Ornitologi Swiss, Johann Buttikofer memberi keterangan bahwa Schwaner waktu itu berada di Pulau Kalimantan,” kata Teguh.
Dengan penemuan itu, teka-teki selama 172 tahun tentang asal burung ini pun terjawab.
Jenis pelanduk
Burung pelanduk kalimantan sesungguhnya bukan satu-satu burung dari jenis pelanduk. Di Indonesia, diketahui ada jenis lain lagi yakni pelanduk dada putih [Trichastoma rostratum], pelanduk ekor pendek [Malacocincla malaccensis], pelanduk merah [Trichastoma pyrrogenys], pelanduk semak [Malacocincla sepiaria], pelanduk sulawesi [Trichastoma celebence], dan pelanduk topi hitam [Pellorneum capistratum]. Sayangnya, semua jenis burung tersebut masih minim data.
Menurut Teguh, dari literatur yang ada saat ini, burung pelanduk kalimantan berukuran 16 sentimeter, berwarna cokelat dengan burik abu-abu di perut, memiliki dahi dan garis alis hitam, iris kuning, paruh hitam, dan kaki merah muda. Suara burung ini belum diketahui dan persebarannya di Pulau Kalimantan.
Namun, James A. Eaton dari Birds of Indonesian Archipelago Greater Sundas and Wallace pada 2016 menuturkan bahwa burung tersebut memiliki penampilan khas, yaitu paruh yang kuat, besar, sayap serta ekor pendek. Supercilium hitam mencolok, garis-garis putih, mahkota dan bagian atas cokelat pucat berwajah abu-abu pucat, dada abu-abu bergaris tipis putih.
James juga menuliskan bahwa burung pelatuk kalimantan mungkin penghuni bekas rawa gambut yang luas di Kalimantan bagian selatan di sekitar Kawasan Sebangau atau kawasan lindung sekitarnya. Dia juga penghuni lanskap Pegunungan Kayan Mentarang.
Atas keberuntungan yang akhirnya memecahkan teka-teki 172 tahun itu, Muhammad Suranto dan Muhammad Risky Fauzan mengatakan tidak menyangka telah menemukan spesies burung yang menurut para ahli telah dianggap “punah” tersebut.
“Kami pikir itu hanyalah burung yang belum kami lihat sebelumnya,” kata Muhammad Rizky Fauzan dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay Indonesia.
Penelitian dan habitat
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Indra Exploitasia kemudian sangat mengapresiasi penemuan ini. Menurutnya, ini sebuah pencapaian tinggi untuk dunia konservasi, sebab burung tersebut selama ini sudah dianggap punah.
“Kita berusaha akan melestarikannya di alam liar dan meneliti lebih lanjut,” kata Indra.
Mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dalam Pasal 5 disebutkan, jenis tumbuhan dan satwa yang wajib dilindungi adalah apabila diketahui populasi yang kecil, adanya penurunan individu yang tajam di alam, dan daerah persebarannya terbatas [endemic].
“Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria dalam ayat satu, yaitu yang mempunyai populasi kecil, maka wajib dilakukan upaya pengawetan.”
Berdasarkan data Burung Indonesia, jumlah jenis burung di Indonesia tahun 2020 tercatat sebanyak 1.794 spesies. Jika dibanding 2019, angka ini bertambah 21 jenis, dari sebelumnya 1.773 spesies. (*)