Dialog dengan Jokowi, Pengusaha Perikanan di Maluku Curhat Hal ini

  • Bagikan
Kuntoro Alfred Kusno dari Desa Tulehu menyampaikan sejumlah keluhannya di hadapan Presiden Jokowi

Mediatani – Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Provinsi Maluku. Kunjungan tersebut untuk meninjau lokasi pembangunan Ambon New Port yang rencananya akan dibangun seluas 700 hektare.

“Pagi hari ini saya khusus datang ke Ambon itu hanya punya satu keperluan bahwa kita akan membangun Ambon New Port yang kurang lebih di dalam perencanaan nanti ada 700 hektare yang itu terintegrasi antara pelabuhan logistik dan pelabuhan perikanan serta industri perikanan ada di satu lokasi,” kata Presiden Jokowi dilansir dari Antara, Kamis, (25/3).

Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi juga membuka ruang dialog kepada para pelaku usaha perikanan yang ada di Maluku. Salah satu pelaku usaha perikanan, Kuntoro Alfred Kusno dari Desa Tulehu menyampaikan sejumlah keluhannya di hadapan Presiden Jokowi.

Dalam dialog tersebut, turut hadir pula perwakilan PT Perikanan Nusantara, PT Samudera Indo sejahtera, PT Harta Samudera, PT Aneka Samudera Tahta Bahari, PT Maluku Prima Makmur dan PT Peduli Laut Maluku.

Keluhan pertama yang disampaikan Kuntoro, yaitu tidak adanya laborotorium untuk melakukan uji kandungan logam berat, fishtamin dan COVID-19 di Ambon. Hal itu membuat pengusaha terpaksa harus mengirimkan spesimennya ke Bali. Sehingga membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang lebih lama.

Kedua, dia mengaku mengeluarkan biaya logistik yang tinggi untuk melakukan ekspor cakalang ke Fukuoka, Jepang. Pasalnya, minimal dia harus mengorder terlebih dahulu kontainer 40 feet dari Surabaya ke Ambon dengan perjalanan selama 2 minggu dan dalam keadaan kosong.

“Dan dari Ambon saya harus ‘tracking’ lagi dari pabrik ke sini menggunakan mobil ‘thermo king’, jadi ‘double handling’ karena infrastruktur di Ambon terlalu kecil jadi tidak bisa ditarik kecuali untuk ukuran 20 feet,” ungkapnya.

Kemudian, pria yang telah berkecimpung di industri perikanan sejak 1993 juga mengeluhkan semakin berkurangnya produksi ikan. Menurutnya, sebelum tahun 2000, rata-rata ikan yang didapatkan bisa mencapai 6.000-8.000 ton per tahun.

“Tahun kemarin hanya 213,7 metrik ton. Terjadi penurunan, kenapa ? Kapal-kapal penangkap ikan khusus ‘pole and line’ menurun jauh, dulu ada 450 unit sekarang tidak lebih dari 50,” kata Kuntoro.

Menurutnya, jumlah kapal yang menurun itu disebabkan karena penangkapan ikan yang tadinya hanya butuh 1 hari sekarang menjadi 5-7 hari sehingga biaya operasional kapal menjadi meningkat. Hal itu membuat banyak pemilik kapal memutuskan untuk berhenti mencari ikan.

Ia mengatakan bahwa pemilik kapal tersebut merupakan masyarakat di desa-desa sekitar Pulau Ambon. Ia berharap masyarakat dapat dibantu untuk meningkatkan kembali jumlah kapal ‘pole and line’ tersebut.

“Karena 1 kapal ini sistemnya padat karya yaitu sekitar 25 kru, dikali 400 (perahu) sudah ada 10 ribu tenaga kerja dan orang Ambon sudah terbiasa dengan alat pancing jeni ini. Itu hanya kru laut belum di pabrik,” tambahnya.

Kuntoro mengungkapkan, alasan lain yang membuat produksi menurun, yaitu banyaknya kapal jaring beroperasi di Selatan dan Utara yang menggunakan rumpon untuk menangkap ikan.

Rumpon merupakan rumah ikan yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan. Biasanya alat ini dipasang di bawah laut, baik perairan dangkal maupun dalam untuk menarik ikan agar berkumpul.

Rumpon biasanya berbentuk seperti karang buatan yang terbuat dari daun pohon kelapa, ranting-ranting pohon, bambu, balok-balok beton, dan bahan bekas.

Lebih lanjut Kuntoro menjelaskan bahwa ikan-ikan besar seperti cakalang dan tuna biasanya bermigrasi dari Utara ke Selatan atau sebaliknya. Sementara kapal rumpong banyak terdapat di Utara dan Selatan, sehingga membuat ikan-ikan ini tidak masuk lagi ke wilayah pesisir.

“Jadi masyarakat pesisir ini lama-kelamaan akan mati,” tambah Kuntoro.

Kuntoro juga mengatakan bahwa kapal-kapal yang sejauh ini beroperasi di Utara itu, berasal dari wilayah Bitung sedangkan kapal yang beroperasi di Selatan berasal dari Bali dan Jakarta. Menurutnya, kebanyakan kapal itu tidak masuk ke Ambon Port.

“Mereka langsung kirim keluar, kasihan orang Maluku tidak dapat apa-apa,” kata Kuntoro.

Namun, Kuntoro juga memuji proses pelayanan dokumen ekspor yang cepat, dimana hanya membutuhkan waktu dalam hitungan jam.

“Karena atas bentukan bapak gubernur ada tim Peningkatan Ekspor Maluku bekerja 24 jam, kalau kita ada kesulitan apa saja selalu ‘difollow up’. Pernah kepala bea cukai tanya ‘Pak ikan sudah sampai di Jepang belum?’, Saya bilang belum karena perlu waktu 35 hari, dari Ambon harus tunggu lagi di Surabaya atau Jakarta,” ungkap Kuntoro.

  • Bagikan