Mediatani – Populasi Ikan sapu-sapu atau ikan tokke’ dengan nama latin glyptoperichthys gibbiceps dianggap menjadi masalah bagi nelayan di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Memasuki tahun ketiga ini populasi ikan sapu-sapu di Danau Tempe kian meresahkan para nelayan di sana.
Bahkan, ikan itu dianggap telah menjadi hama karena menyebabkan jaring nelayan rusak dan tak memiliki nilai jual di pasaran.
Dengan demikian, satu di antara upaya penanganannya dan pemanfaatan ikan sapu-sapun itu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Wajo kini telah menganggarkan dana Rp 60.000.000 dari APBD di 2021.
“Anggarannya tahun ini sudah ada Rp 60 juta, itu kita bagi untuk proses penelitian dan pengolahan ikan sapu-sapu supaya bermanfaat,” kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Wajo, Nasfari, Kamis (21/1/2021), dikutip dari Tribunwajo.com, Jumat, (22/1/2021).
Nasfari menuturkan penelitian itu nantinya diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang telah meneken MoU. Di antaranya, ialah Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Universitas Hasanuddin (Unhas).
“Kita telah mengajak UMI dan Unhas untuk lakukan penelitian, dan itu kini sudah berjalan. Salah satu hasil atau solusinya ialah bagaimana ikan sapu-sapu ini diolah menjadi pakan ternak. Kita juga saat ini sementara mengajak Universitas Bosowa,” tuturnya.
Selain mengolah dan menjadi ikan sapu-sapu sebagai pakan ternak, Nasfari juga menyebut, pihaknya sementara mengupayakan agar ikan sapu-sapu itu juga bisa dikonsumsi.
“Kita upayakan bisa dikonsumsi, kita perlu kajian. Agar tahu di dalam tubuh ikan itu tak mengandung timbal, pestisida, dan bahan berbahaya lainnya,” sebutnya.
Sementara itu di Malang, sejumlah dosen dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan pemberdayaan masyarakat melalui sistem teknologi pakan berbasis pengembangan budidaya maggot.
Kegiatan ini telah berlangsung di desa Mulyoagung, Malang pada akhir tahun lalu.
Dikutip, Jumat, (22/1/2021), dari situs Republika.co.id, pada pelaksanannya, agenda yang diinisiasi oleh Bustanol Arifin bersama Amir Syarifuddin dan Frendy Aru Fantiro ini turut pula menggandeng kelompok Chang Bird Farm dan Veloved Bird sebagai mitra.
Saat ditemui, perwakilan tim, Bustanol Arifin mengungkapkan, program pemberdayaan masyarakat itu awalnya, berawal dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilakukan oleh mahasiswa UMM.
Pria yang kerap disapa Arifin ini bersama tim melihat profesi mayoritas warga desa Mulyoagung itu peternak burung.
Sebagian mereka ujar dia, telah mengembangkan proses pengolahan maggot sebagai pakan. “Namun sayangnya proses pengolahannya masih dilakukan secara manual,” ungkap Arifin.
Menurut dia, proses pengolahan maggot secara manual tersebut bakal menyulitkan para peternak burung karena membutuhakn waktu yang lama untuk mengolahnya.
Selain itu, model pemasaran yang dilakukan peternak juga kurang memadai.
Berangkat dari situ, Arifin dan tim kemudian melakukan pembaharuan di bidang teknologi khususnya dalam pembuatan maggot sebagai pakan burung.
Lalu dia menambahkan, tim pula memberikan pelatihan budidaya maggot dan proses pengelolahan pakan dengan mesin. Kemudian warga juga turut mendapatkan pelatihan pengemasan serta pemasaran produk.
Terakhir, timnya juga sempat memberikan bantuan berupa mesin pencacah dan pengering kepada warga.
Mesin pencacah itu berguna untuk membantu proses penghalusan bahan baku. Sementara, mesin pengeringnya berfungsi untuk mempercepat proses pengeringan dari empat hari menjadi dua jam saja.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMM mengatakan, program pemberdayaan itu telah berjalan sejak Agustus hingga Desember 2020.
Walaupun begitu, proses pendampingan dan pemantauan tetap dilakukan hingga saat ini. Terutama, dalam hal pemasaran produk hasil dari pengolahan.
Pria kelahiran Bondowoso ini mengharapkan, program timnya itu nantinya dapat berkembang lebih luas lagi. Tidak hanya pada budidaya maggot saja akan tetapi pada pakan lainnya. (*)