Mediatani – Pelaksanaan Program Petani Milenial rencananya akan dimulai pertengahan Maret 2021. Dengan waktu yang makin dekat, DPRD Jabar masih menyoroti perihal penyiapan lahan untuk merealisasikan program tersebut.
Dilansir dari detik – Anggota Fraksi PDIP DPRD Jawa Barat, R Yunandar Rukhiadi Eka Perwira, mengatakan bahwa untuk menggulirkan program Petani Milenial bukanlah hal mudah bagi Pemprov Jabar. Sebab, saat ini kondisi lahan di Jawa Barat sudah semakin terbatas.
Yunandar mengungkapkan bahwa saat ini alih fungsi lahan sangat banyak terjadi, kebanyakan lahan tersebut dialih fungsikan menjadi pemukiman, tempat usaha, dan pabrik. Kendala ini menjadi sangat penting untuk diselesaikan karena lahan menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam perjalanan program petani milenial (28/2/2021).
Sebenarnya, Pemprov Jabar masih memiliki aset lahan. Namun jumlahnya tidak cukup besar dan juga tidak memungkinkan jika semua lahan tersebut digunakan sebagai lahan pertanian.
Namun tidak hanya itu, selain masalah lahan, permodalan juga menjadi masalah lain untuk menjalankan program ini. Hingga saat ini tidak ada yang bisa memberikan kredit untuk petani dan membayarnya saat panen.
Untuk ke bank pun harus dibayar per bulan sehingga selama ini belum ada kredit petani. Bahkan untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pun, kebanyakan dari pedagang saja yang bisa membayar tiap bulannya.
Yunandar meminta agar Pemprov Jabar bisa mengkaji secara matang terkait program tersebut. Selain lahan dan modal, pihaknya juga mendorong agar Pemprov Jabar menyiapkan bagaimana sistem penyaluran hasil pertanian.
Selama ini, selain masalah modal yaitu offtaker, banyak anak muda yang masih enggan menjadi petani karena mereka berpikir bahwa petani tidak bisa sejahtera. Selama ini yang menjadi offtaker petani adalah tengkulak-tengkulak, sayangnya justu merekalah yang menekan harga sangat rendah.
Tentunya anak muda milenial tidak boleh seperti itu, di satu sisi mereka diberikan tugas menjadi petani, namun di sisi lain harga yang diberikan rendah sekali. Sangat jarang didapati ada tengkulak yang mau memberikan harga yang bagus, harga yang diberikan kepada petani pun seakan tidak dihargai oleh sistem pasar.
Seharusnya, offtakerlah yang bisa memberikan peran sebagai lembaga edukasi, memberikan strategi agar produk pertanian bisa masuk ke pasar dengan harga yang bagus, dan tentunya hal ini tidak mudah untuk dijalankan.
Menurutnya, hal itu membutuhkan modal yang besar. Bulog saja masih belum sanggup untuk mengatasi hal itu, apalagi Pemerintah Provinsi Jabar.
Yunandar mengaku jika pihaknya memiliki solusi dengan Perda No 1 Tahun 2020 yang berisi tentang pusat distribusi provinsi. Menurutnya, sampai saat ini offtaker atau namanya pusat distribusi provinsi belum terbentuk.
Yunandar sendiri mengaku tidak mengetahui apa yang menyebabkan hal ini belum selesai dilakukan. Karena jika pemprov ingin membentuk pertanian yang juara, maka pusat distribusi provinsi harus ada. Hal ini akan menjamin kelayakan harga dan produk yang diterima oleh pasar. Jadi seharusnya yang menjaga kestabilan harga pasar bukanlah tengkulak.
Pusat distribusi provinsi berperan dalam menjaga kestabilan harga secara regional dan juga menjamin ketersediaan pangan di Jabar.
Saat ditanyakan apakah program ini berkaitan dengan gimmick politik jelang Pilpres 2024, Yunandar tak memberikan banyak komentar soal itu. Namun jika program ini akhirnya gagal, maka bisa jadi akan menjadi boomerang bagi Ridwan Kamil.
Menurut Yunandar, masih terlalu jauh jika hal ini dilakukan untuk sekedar gimmick politik pilpres 2024. Bahkan di tahun 2023 masa jabatan gubernur sudah berakhir.
Justru jika program ini tidak berjalan maka akan menjadi hal yang negatif. Dilihat dari segi branding bagus, petani milenial bagus, namun dari segi kesiapannya belum terlihat.