Mediatani – Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro (Undip), Dian Wahyu Harjanti berharap agar generasi muda atau milenial Indonesia tidak takut bermimpi jadi peternak.
“Jangan takut dan ragu untuk terjun ke sektor peternakan. Beternak itu menjanjikan dan menguntungkan. Susu adalah “first food for human”, makanan pertama untuk manusia. Peternakan adalah salah satu tonggak yang menopang bangsa, no farm, no food,” terang Dian Selasa (29/6/2021), melansir dari laman kompas.com.
Menurutnya, banyak contoh generasi milenial yang menjelma menjadi peternak dan pengusaha muda yang sukses.
Fokus di bidang peternakan bisa menghasilkan penghasilan yang juga sama baiknya dengan profesi lainnya, bahkan ada penghasilan harian, bulanan dan tahunan.
Tak ada peternakan, tak ada makanan
Dian memisalkan, peternak sapi perah dapat penghasilan dari penjualan susu yang diperah setiap hari, penghasilan dari menjual kotorannya untuk pupuk, penghasilan dari menjual anak sapi juga penghasilan dari menjual pakan ternak.
Susu yang dihasilkan dapat diolah menjadi berbagai diversifikasi produk dan dapat dikerjasamakan dengan pihak lain seperti cafe dan restoran.
“Susu sangat dibutuhkan oleh manusia dari usia bayi hingga lansia. Dengan masih rendahnya suplai lokal, dan tingginya permintaan, maka bisnis sapi perah dan persusuan ini justru sangat prospektif,” ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, jika ditambah dengan memanfaatkan teknologi digital, maka bisnis susu akan semakin menjanjikan.
“Susu membentuk generasi cerdas. Ayo minum susu setiap hari. Masyarakat sehat, imunitas kuat membentuk bangsa yang maju dan sejahtera,” imbuh Dian.
Belajar Kelola Bisnis dan Investasi dari Nol
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Susu Sedunia atau World Milk Day.
Tujuan utamanya di balik penetapan Hari Susu Sedunia, jelas Dian, adalah untuk mengakui pentingnya susu dan produk susu dalam hidup.
Namun pada kenyataannya konsumsi susu di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Meningkatnya kebutuhan protein
Dian mengatakan, konsumsi susu masyarakat Indonesia per-kapita tahun 2020 sebesar 16,27 kg/kapita/tahun. Angka tersebut sebetulnya mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2019, yaitu naik sebesar 0,25 persen.
Namun demikian, angka tersebut memang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Konsumsi susu per-kapita pada tahun 2021 ini diprediksikan juga mengalami kenaikan.
Beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan jumlah konsumsi tersebut di antaranya adalah jumlah penduduk yang meningkat, kesadaran masyarakat akan gizi seimbang juga meningkat serta pandemi COVID-19 yang mengharuskan kita untuk meningkatkan imunitas tubuh melalui asupan protein.
Susu merupakan pangan yang memiliki nilai gizi yang mendekati sempurna. Kandungan gizi susu sangat penting untuk perkembangan otak, pertumbuhan, perbaikan sel, mendukung metabolism tubuh termasuk regulasi sistem imunitas.
“Produksi susu segar belum mampu memenuhi kebutuhan susu nasional. Pada tahun 2020, kebutuhan susu nasional adalah sebesar 4.386 ribu ton, sedangkan produksi susu segar dalam negeri sebesar 998 ribu ton. Artinya, hanya 22,8 persen kebutuhan susu nasional yang dipenuhi,” ungkapnya.
“Untuk mengurangi jumlah import, Pemerintah Bersama dengan praktisi di Perguruan Tinggi telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi usaha peternakan sapi perah, termasuk peningkatan produksi susu sesuai potensi genetik ternak,” tambahnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa jumlah populasi sapi perah dari tahun ke tahun memang cenderung stagnan. Namun, jumlah populasi sebetulnya bukan merupakan penyebab tunggal rendahnya produksi susu nasional.
Sebagian besar peternakan sapi perah di Indonesia merupakan peternakan rakyat. Jika populasi ternak ingin ditambah, misalnya melalui program bantuan ternak, maka pemerintah juga perlu mengkaji tentang kecukupan lahan untuk menanam tanaman hijau berkualitas yang merupakan pakan utama sapi perah.
Feeding management merupakan kunci sukses dari budidaya sapi perah. Jika populasi sapi perah ditambah, namun lahan hijau dan bahan pakan konsentrat terbatas maka tujuan peningkatan produksi susu sulit untuk terwujud.
“Selain feeding management, kualitas genetik dan kesehatan sapi perah juga sangat mempengaruhi produktivitas sapi perah. Permasalahan kesehatan utama pada industri sapi perah adalah peradangan kelenjar mammary yang dikenal dengan penyakit mastitis,” tuturnya.
“Prevalensi mastitis pada sapi perah di Indonesia yang cukup tinggi, yaitu mencapai 80 persen dan merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi dan kualitas susu. Upaya mengatasi mastitis, yaitu pencegahan serta pengobatan merupakan topik penelitian yang kami lakukan di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian UNDIP,” sambungnya. (*)