Dugaan Praktik Kartel Harga Bibit Ayam, Peternak Akui Merugi Rp 5,4 T

  • Bagikan
Ilustrasi. Peternakan ayam/via Kementan/IST

Mediatani – Peternak ayam mandiri mengaku telah merugi selama dua tahun akibat adanya dugaan praktik kartel harga bibit anak ayam (Day Old Chicken/DOC). Kerugian disebut sudah mencapai Rp 5,4 triliun.

Mengutip, Selasa (23/3/2021) dari situs detikcom, Sekjen Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Kadma Wijaya menuturkan bahwa kerugian itu disebabkan oleh adanya kartel harga DOC. Dia menilai harga DOC disepakati untuk dibuat mahal.

Dengan harga DOC yang mahal, menurutnya, hal ini membuat harga pokok produksi ayam potong alias livebird menjadi bengkak. Sementara harganya tak bisa dinaikkan dan harus mengikuti mekanisme pasar yang diatur pemerintah.

“Mahalnya harga DOC ini berdampak pada saat panen, HPP yang terjadi kan lebih tinggi, sementara harga kan ikut pasar. Belum lagi, kalau supply banyak harga pasti turun. Ini lah mengapa peternak rugi 2 tahun nilainya Rp 5,4 triliun,” ujar Kadma ditemui di kantor KPPU Jakarta Pusat, Senin (22/3/2021), mengutip, Selasa (23/3/2021) dari situs detikcom.

“Ini yang kita tuntut, apa yang mesti diberikan kepada kerugian ini selama 2019-2020,” ujarnya.

Kadma dan Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio hari ini melakukan laporan dugaan kartel kepada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).

Di kesempatan yang sama Alvino juga menjelaskan bahwa dia dan Kadma melaporkan telah terjadi kartel penentuan harga pada tingkat breeding farm alias peternakan bibit ayam. Alvino menilai harga DOC selalu sama dijual oleh berbagai breeding farm.

Mereka menilai harga yang ditawarkan ini bagaikan dimainkan beberapa pihak dan melakukan praktik kartel dalam penentuan harga DOC. Masalahnya, harga yang dia sebut kartel ini sekarang sudah sangat jauh dari harga acuan yang ditetapkan pemerintah.

Kata dia, harga acuan Kementerian Perdagangan berada di Rp 5.000-6.000 per ekor. “Harga DOC ini jadi diatur nggak wajar, padahal acuan Kemendag kan Rp 5.000 sampai Rp 6.000, ini kenyataannya bisa sampai Rp 7.000,” papar Alvino.

Harga DOC yang mahal ini membuat pihaknya merugi, pasalnya harga livebird alias ayam potong menurutnya dipatok Rp 19.000 per ekor. Harga itu dipatok dengan mempertimbangkan DOC di harga paling mahal Rp 6.000. Artinya bila DOC berada di harga RP 7.000 per ekor, harga ongkos produksi ayam potong yang dijual pihaknya jelas membesar.

“Livebird acuannya itu Rp 19.000 dasar perhitungannya dengan harga DOC Rp 6.000. Nah kalau DOC ini bisa Rp 7.000 harganya ya rugi lah kita, HPP-nya bertambah,” ungkap Alvino.

Sebelumnya sebagaimana diberitakan mediatani.co, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya melakukan stabilisasi harga perunggasan di peternak.

Upaya itu diharapkan, agar tidak ada lagi peternak yang menderita kerugian karena harga liverbird di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP).

Direktur Jenderal PKH, Nasrullah, mengutip, Senin (22/3/2021) dari situs industry.co.id, menjelaskan bahwa upaya stabilisasi perunggasan yang telah dilakukan oleh Ditjen PKH Kementan yaitu pengendalian produksi melalui cutting HE fertil dan afkir dini PS.

Hal ini, ditekankannya sebagai usaha menjaga keseimbangan supply dan demand harga liverbird (LB) di tingkat peternak. “Terdapat korelasi positif upaya pengendalian produksi DOC FS dengan perkembangan harga livebird (LB). Upaya ini telah berdampak terhadap perbaikan harga LB di tingkat peternak,” kata Nasrullah.

Dia menambahkan, dalam melindungi kepentingan peternak UMKM (rakyat), setiap perusahaan pembibit harus memprioritaskan distribusi DOC FS untuk eksternal farm 50% dari produksinya dengan harga sesuai harga acuan Permendag.

Hal ini diamanatkan pula di dalam Permentan Nomor 32 tahun 2017 bahwa perusahaan pembibit harus mendistribusikan DOC FS 50% untuk peternak eksternal di luar kemitraan dan company farm. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan DOC FS untuk peternak eksternal utamanya skala UMKM perlu dilakukan verifikasi dan validasi sehingga dapat diketahui proporsi kebutuhan internal farm termasuk kemitraan dengan peternak eksternal.

Nasrullah menjelaskan bahwa kondisi perunggasan nasional sekarang ini masih didera isu ketidak-seimbangan antara supply dan demand, yang memicu harga livebird sangat fluktuatif dan cenderung berada di bawah HPP (Harga Pokok Produksi).

Harga livebird memang sangat dipengaruhi oleh volume supply di kandang dan pangkalan ayam. Pasar ayam ras pedaging pun lanjut dia, sebagian besar beredar dalam bentuk bentuk hidup (livebird) kurang dari 80%. Baca selengkapnya dengan klik di sini. (*)

  • Bagikan