Mediatani – Minimnya regenerasi petani menjadi salah satu masalah dalam menjamin pembangunan sektor pertanian di Tanah Air. Karena saat ini mayoritas petani sudah berada dalam usia rata-rata 50 tahun. Itu artinya, beberapa tahun lagi mereka sudah tidak produktif dalam bekerja.
Masih kurangnya milenial yang terlibat dalam dunia pertanian itu disebabkan karena di benak pemuda, citra petani dianggap masih jauh dari kesejahteraan. Belum lagi ketakutan akan mengalami gagal panen sedangkan modal yang digunakan di awal cukup besar.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Duta Petani Milenial Sandi Octa Susila mengatakan anggapan tentang sektor pertanian yang tak mampu menghasilkan uang yang banyak adalah pemikiran yang keliru. Sebab, ia mencontohkan dirinya yang lima tahun berkecimpung di bidang tersebut telah mendapatkan hasil yang menguntungkan.
“Kalau enggak ada uangnya, saya ke sektor lain. Saya rasakan betul usaha yang saya jalankan memang kurang lebih udah 5 tahun,” kata Sandi di Graha BNPB, Jakarta Timur, Senin (23/11/2020).
Dia menceritakan awal mula dirinya untuk terjun menjadi wirausahawan di sektor pertanian. Saat itu dirinya hanya mempekerjakan 5 hingga 15 petani. Namun, dengan tekad dan kerja keras, kini ia sudah semakin mengembangkan pertaniannya. Di lahan seluas 98 hektare yang dikelolanya sudah ada 385 petani yang diajaknya bergabung.
“Alhamdulillah sekarang saya punya 385 petani. Karena kita memang ada beberapa aspek kerjasama. ada 98 hektare yang kita kelola lahan tersebut. Yang mengelola para petani,” ungkapnya.
Meski demikian, lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu tak menampik kesulitan yang dialaminya saat memulai membangun bisnis pertanian. Apalagi saat mengajak bekerjasama para petani di desanya yang seluruhnya berusia tua.
Menurut Sandi, salah satu kendala yang dihadapinya yaitu generasi petani tua yang tak mampu menggunakan teknologi digital. Padahal, Ia mengaku telah berulang kali melatih petani namun tetap tidak bisa diadaptasi.
“Mereka hanya butuh kalimat sederhana dan bisa diimplementasi di lapangan. Jadi, bicara revolusi industri 4.0 itu tidak sampai,” ujarnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut itulah, menurut Sandi, kenapa milenial dibutuhkan dalam sektor pertanian. Sebab, hanya milenial yang bisa cepat dalam mengadopsi industri 4.0 di sektor pertanian.
Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) juga terus mengajak para petani milenial untuk bergabung dalam era industri pertanian 4.0. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) meminta generasi milenial pertanian agar dapat memanfaatkan paradigma baru dunia digital dalam mengembangkan dunia pertanian di Indonesia.
“Pertanian sekarang tak lagi sama dengan pertanian di masa lalu. Di era digital seperti sekarang sektor pertanian juga beradaptasi dengan teknologi 4.0 untuk menjawab tantangan ke depan. Di situlah peran serta generasi milenial,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Hal serupa juga dipertegas oleh Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementan, Dedi Nursyamsi saat memberikan Kuliah Umum yang digelar Kamis (19/11/2020), secara virtual. Menurutnya, sudah banyak petani milenial yang sukses setelah memanfaatkan pertanian 4.0.
“Misalnya ada petani milenial Indra Bachtiar yang punya Smart Green Farm dengan komoditas tomat ceri yang dikembangkan secara hidroponik. Ada juga 8 Villages yang punya banyak produk pertanian, buah, dan lainnya,” terang Dedi.
Dedi menjelaskan bahwa saat ini sudah banyak petani milenial yang menggunakan aplikasi yang bisa mendekatkan produsen dengan konsumen, atau petani dengan masyarakat.
“Masyarakat harus memenuhi kebutuhan pangannya. Dan dengan aplikasi, masyarakat tidak perlu datang ke pasar, kios, toko, dan lainnya. Mereka cukup order dan bayar melalui aplikasi maka pesanan akan datang ke rumah,” katanya.