Mediatani – Salah satu kota yang ada di Indonesia yang terkenal dengan buah apel sebagai ikon yaitu Kota Batu Malang. Buah apel ini telah menjadi primadona terlebih lagi di era 1990-an. Semakin lama, ikon tersebut lambat laun bisa hanya meninggalkan kenangan. Hal ini dibuktikan karena lahan-lahan budidaya apel kini kian menyusut. Terlebih lagi budidaya apel ini menjadi sandaran hidup petani apel.
Banyak dari petani apel yang beralih menanam tanaman jeruk karena apel yang kini tak menjanjikan lagi. Petani apel mulai memikirkan hal tersebut, karena menilai apel mulai tidak mensejahterakan petani. Usman Hudi, Salah satu petani apel di Desa Bukukerto, Kota Batu memiliki lahan seluas delapan hektar (Ha). Beberapa hektar (Ha) ditanami apel dan beberapa lainnya ditanami jeruk.
Lahan yang sebelumnya ditanami apel, kini dialihkan menjadi ladang jeruk. Usman memilih membudidayakan jeruk karena pemeliharaannya lebih mudah dan cukup bernilai ekonomis. Dimusim hujan seperti saat ini, petani memerlukan modal perawatan paling sedikit Rp 90 ribu per satu pohon apel. Sedangkan harga jual di pasaran hanya sekitar Rp 50 ribu – 60 ribu saja. Jadi petani mengalami kerugian dan petani pasti mengalami kesulitan.
Hal – hal yang membuat petani apel di Kota Batu ini menjadi beralih ke tanaman lain adalah hama yang menyerang ladang apel mereka. Hama mata ayam salah satunya yang membuat resah para petani. Hama ini mulai menyerang ladang apel sejak sekitar tahun 2017 lalu. Meskipun, sudah diantisipasi dengan menggunakan pestisida, tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil.
Selain masalah hama, kurangnya pendampingan dari Dinas Pertanian juga menjadi salah satu faktor petani apel mulai beralih ketanaman lain. Bahkan Dinas Pertanian Kota Batu tak pernah sedikitpun meninjau ke lokasi. Padahal petani menantikan sebuah solusi yang manjur mengatasi hama mata ayam, sehingga hasil pertanian apel kembali normal bahkan meningkat. Petani berharap ada perhatian khusus terkait ini dari Pemkot Batu. Untuk saat ini, hanya sekitar dua puluh persen saja yang mampu terjual. Selebihnya harus direlakan untuk dibuang, sebab rusak karena hama.
“untuk menutupi kekurangan, saya dan teman-teman petani apel lainnya berinisiatif untuk membuat produk olahan apel, seperti kripik apel. Kami memproduksinya untuk dijadikan sebagai buah tangan khas Kota Batu. Tetapi, kami menemukan masalah yang lain. Semenjak pandemi dan pasca diterapkannya PSBB, penjualan kami tak menentu bahkan menurun”, kata Usman.
Sejalan dengan Usman, Abdul Muhammad Rokhim yang berprofesi sebagai petani apel juga mengeluhkan hal yang sama. Dia sudah menjadi petani apel sejak remaja. Abdul sangat menyayangkan kurangnya perhatian terkait hal ini dari Pemerintah Kota. Seperti halnya Usman, Abdul juga berinisiatif untuk mengubah ladang apelnya menjadi ladang jeruk, sebab dinilai tanaman jeruk lebih menggiurkan secara ekonomis.
“Padahal apel ini kan sebagai ikonnya Kota Batu. Namun tak ada perhatian yang diberikan oleh Pemkot,” terangnya.
Hari Danah Wahyono, selaku Ketua Komisi B DPRD Kota Batu menilai jargon sebagai kota apel yang diberikan kepada Kota Batu mulai redup, jika tak ada perhatian dari pemerintah. Pihaknya akan segera menindaklanjuti persoalan itu. Diharapkan kepada Dinas Pertanian untuk segera turun tangan dan mencari solusi terkait persoalan yang dihadapi petani apel.
“Untuk membahas hal tersebut, Kami akan adakan pertemuan dengan Dinas Pertanian. Agar kita bisa mengatasi masalah yang dihadapi oleh petani apel di Kota Batu”, pungkasnya