Mediatani – Kasus kontaminasi virus corona tipe baru atau SARS-CoV-2 pada produk dan kemasan ikan yang diekspor Indonesia ke China masih kerap terjadi bahkan mengalami lonjakan.
Dilansir dari Kompas, Rabu (11/8/2021), hingga 9 Agustus 2021, tercatat ada 37 kasus temuan jejak virus penyebab Covid-19 itu pada produk dan kemasan ikan asal yang diekspor Indonesia ke China.
Otoritas Bea dan Cukai China (GACC) telah mendeteksi kontaminasi virus SARS-CoV-2 itu sejak September 2020 lalu. Seiring melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia, temuan jejak SARS-CoV-2 juga mengalami peningkatan.
Untuk periode September-Desember 2020, GACC mencatatkan ada enam kasus temuan kontaminasi virus korona tipe baru pada kemasan dan produk perikanan yang berasal dari empat perusahaan Indonesia.
Sementara, pada periode Januari hingga 9 Agustus 2021, tercatat ada 37 kasus virus corona tipe baru yang ditemukan pada kemasan serta produk perikanan Indonesia yang berasal dari hasil tangkap dan budidaya yang dikirim oleh 23 perusahaan.
Kasus ini sudah sering terjadi pada beberapa perusahaan eksportir dari Jakarta dan Medan. Terakhir, pada perusahaan di Makassar dan Bali juga muncul temuan kasus serupa.
Dari 37 kasus temuan itu, sebanyak 34 kasus kontaminasi virus ditemukan pada kemasan produk perikanan, 2 kasus pada produk perikanan, dan 1 jejak kontaminasi virus pada dinding kontainer.
Kepala Pusat Pengendalian Mutu Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Sumiyanto, pada Rabu (11/8/2021), mengatakan bahwa kasus jejak kontaminasi ini terus meluas.
“Meledaknya kasus (temuan) seiring dengan meledaknya kasus Covid-19 nasional. Kita belum menerapkan protokol secara menyeluruh dalam rantai proses hulu-hilir,” ujarnya.
Melihat lonjakan kasus tersebut, pada Desember 2020, China memberlakukan syarat pembelian produk perikanan RI yang ketat, diantaranya yaitu mencantumkan nama kapal penangkap dan lokasi tangkapan ikan yang didapatkan, serta nama lokasi budidaya oleh unit pengolahan ikan.
Selain itu, semua orang yang terlibat dalam produksi wajib diuji Covid-19, mulai dari anak buah kapal, pekerja budidaya, dan pekerja pabrik olahan. Pengujian ini juga wajib dilakukan pada produk perikanan yang dikirim ke China.
Adapun uji Covid-19 yang saat ini disyarat oleh China yaitu berupa tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Namun, persyaratan tambahan yang diberlakukan China ini tidak diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor lainnya.
Widodo menduga kasus temuan itu dipicu oleh minimnya penerapan protokol kesehatan dan uji Covid pada pekerja yang terlibat dalam rantai pasok hulu-hilir. Dari hasil audit, sejumlah karyawan dari beberapa perusahaan masih belum melakukan pengujian Covid-19.
Karena itu, saat ini perlu dilakukan pengawasan dan penerapan protokol Covid-19 secara ketat dari hulu hingga hilir, mulai dari nelayan, pembudidaya, pengepul, pengemasan, industri pengolahan ikan, hingga logistik.
Jejak Covid-19 menghambat ekspor
Peluang peningkatan ekspor produk perikanan Indonesia ke China dikhawatirkan akan terhambat akibat melonjaknya kasus jejak Covid-19 pada produk dan kemasan ikan tersebut.
Selama ini China telah menjadi negara tujuan utama ekspor perikanan yang masih memiliki peluang pasar yang besar. Pasalnya, negara yang berjuluk ”Negeri Tirai Bambu” ini hampir bisa menyerap komoditas ikan seluruh segmen pasarnya.
Widodo menyatakan, perusahaan-perusahaan yang tidak bisa memenuhi standar uji produk perikanan di China itu telah mendapat sanksi berupa larangan ekspor.
Dari total 664 unit pengolahan ikan yang sebelumnya boleh melakukan ekspor ke China, saat ini tinggal tersisa 461 perusahaan. Sebanyak 190 perusahaan dilarang melakukan ekspor sementara ke China oleh BKIPM, sedangkan 13 perusahaan lainnya oleh otoritas China.
”Kunci utama adalah pengendalian karyawan yang terkontaminasi Covid-19 pada rantai proses hulu-hilir. Pada akhirnya, unit usaha yang peduli dan berkomitmen dengan jaminan mutu yang akan maju dan menggarap peluang pasar,” ungkap Widodo.