Mediatani – Sosial media diramaikan dengan foto penampakan tanaman maupun rerumputan di Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah diselimuti es. Fenomena ini lumrah terjadi di daerah Dieng dan masyarakat menyebutnya embun upas.
Kepala UPTD Pengelola Obyek Wisata Banjarnegara Sri Utami, mengatakan, fenomena embun es ini biasa terjadi pada Juli hingga September dan terjadi setiap tahun.
Ia mengatakan saat ini suhu di daerah Dieng minus 3 derajat. Embun es yang terlihat masih berada di fase awal dan belum mencapai puncaknya.
Warga lokal menamai fenomena ini dengan sebutan kecantikan embun upas, dibuktikan dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke dataran tinggi Dieng.
Tercatat, Pada Sabtu, (25/7/2020) kemarin, wisatawan yang berkunjung ke Dieng mencapai 1.200 orang. Mengingat saat ini Dieng masih dibuka terbatas untuk wisatawan dari DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Jawa Tengah saja, maka jumlah tersebut terhitung naik tiga kali lipat.
Kemunculan es saat musim kemarau, biasanya ditandai dengan kondisi cuaca terik dan suhu yang terus menurun pada malam harinya, lalu disusul dengan hawa dingin yang semakin kuat.
Meski begitu kemunculan es ini tak berlangsung lama. Es yang menempel di dedaunan dan rumput di lapangan Candi Arjuna Dieng pangsung mencair begitu terkena matahari.
Berpengaruh pada tanaman kentang
Meski indah dipandang, ternyata embun es yang terjadi di dataran tinggi Dieng juga memengaruhi aktivitas pertanian masyarakat, terutama pada tanaman kentang.
Uut menuturkan bahwa embun es ini bisa merugikan petani kentang karena bakal membuat para petani gagal panen. Namun setelah ketika embun es ini berakhir, tanah justru menjadi lebih subur dan hasil panen berikutnya menjadi lebih baik.
“Kalau keterangan dari petani sendiri, memang ketika terkena embun upas, itu bisa menyebabkan gagal panen. Tapi pasca itu, mereka mendapatkan nilai lebih. Panen berikutnya biasanya melipat,” kata Uut.
Sebelumnya, petani sebenarnya telah menyadari bahwa embun upas ini bakal terjadi. Mereka sudah menganggap fenomena tahunan ini telah menjadi bagian dari siklus pertanian.
Tahun 2019 lalu, fenomena embun es pernah menjadi musibah karena berdampak terhadap 30 hektar tanaman kentang yang menjadi rusak akibat embun es tersebut.
Koordinator Penyuluh Pertanian Kecamatan Batur Agus Rivai saat dihubungi dari Purwokerto, Banyumas, Jateng tahun lalu menyebutkan bahwa di Dieng Kulon, tanaman kentang yang rusak sekitar 10 hektar. Kemudian di Dusun Pawuhan, Desa Karangtengah, lebih parah. Kerusakannya sekitar 20 hektar.
Embun es yang menyelubungi tanaman kentang mula-mula menghitamkan daunnya. Kemudian dalam beberapa hari secara berturut-turut, tanaman akan kering dan kemudian layu, bahkan membusuk sampai akar.
Dari 30 hektar lahan kentang yang rusak, diperkirakan kerugian mencapai Rp 1,5 miliar. Petani setempat menyebut fenomena embun es ini sebagai embun upas atau embun racun karena mematikan kentang.
Namun menurut sejumlah petani, setelah terserang embun upas, masa tanam berikutnya panen kentang yang dihasilkan bisa berlipat ganda.
Hal itu disebabkan bakteri dan hama penyerang kentang ikut mati akibat dinginnya embun es. Dalam kondisi normal, kentang yang dapat dipanen berkisar 12-15 ton per hektar.
Saroji, petani kentang yang memiliki warung makan serta penginapan di Dieng juga menjelaskan, embun upas bisa membunuh organisme tanaman pengganggu dan ulat kentang sehingga tanah makin subur dan hasil panen berikutnya bisa berlipat.
Hal serupa disampaikan Umar, petani lainnya. Ia memilih membiarkan ladangnya begitu saja sambil menunggu serangan embun upas selesai.
”Ini proses sterilisasi alam karena hama seperti lalat dan jamur ikut mati. Yang penting sabar saja,” ujar Umar yang juga mencari nafkah dengan berjualan minuman dan makanan ringan di kompleks Candi Arjuna.
Penjelasan BMKG
BMKG menjelaskan suhu dingin yang terjadi itu akibat adanya aliran massa udara dingin menuju kering dari wilayah benua seberang yang dikenal dengan monsun dingin Australia.
Secara klimatologis, Monsun dingin Australia akan aktif setiap periode bulan Juni, Juli, dan Agustus. Ketiga bulan tersebut umumnya merupakan periode puncak musim kemarau di wilayah Indonesia selatan ekuator. Desakan aliran udara kering dan dingin yang berasal dari Australia itu memicu kondisi udara yang cenderung dingin terlebih pada malam hari.
Cuaca cerah pada musim kemarau dengan kondisi atmosfer yang sedikit tertutupi awan di sekitar wilayah Jawa menimbulkan pancaran panas bumi ke atmosfer pada malam hari sehingga membuat suhu permukaan planet yang satu ini lebih rendah serta terasa dingin dari biasanya.
Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie juga mengatakan, fenomena embun es di dataran tinggi Dieng terjadi antara lain karena adanya anomali cuaca ekstrem. Fenomena ini disebabkan banyak faktor dan biasa terjadi di dataran tinggi.
”Dataran tinggi, puncak gunung, atau lereng gunung menjadi dingin secara cepat akibat kehilangan radiasi. Oleh karena itu, di puncak gunung bertekanan lebih tinggi dibandingkan dengan di lembah. Udara yang lebih dingin memiliki densitas (kerapatan udara) yang lebih besar, kemudian akan mengalirkan udara ke lembah.
Udara dingin yang mengalir ke lembah secara signifikan mempercepat laju kondensasi uap air atau embun yang berada di bawah permukaan. Hal inilah yang dikenal sebagai embun es seperti yang terjadi di Dieng,” paparnya.
sumber: kompas. com