Mediatani – Fenomena burung berjatuhan setelah hujan turun menjadi perbincangan hangat beberapa hari belakangan. Kejadian pertama terjadi di Kota Gianyar, Bali pada Kamis (9/9/2021). Tak lama berselang, kejadian serupa kembali terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat pada Selasa (14/9/2021).
Kejadian di Bali, pertamakali menjadi obrolan publik setelah video mengenai kejadian tersebut viral di berbagai sosial media. Dalam video yang diunggah Kadek Sutika di facebook, terlihat ribuan burung pipit berjatuhan dan berhamburan di bawah pohon.
Kadek Sutika menjelaskan, peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 08.00 WITA, saat itu cuaca di sekitarnya sedang turun hujan. Tidak lama berselang, burung-burung yang ada di pohon asem di pekuburan Banjar Sema, Gianyar, Bali itu berjatuhan dan tergeletak di tanah.
“Awalnya sering tidur burung di pohon asem itu. Banyak ada burung di sana, tapi baru lima hari burung di sana, dulu tidak ada. Dua ada pohon asem di sana. Asem kembar rasanya itu,” tuturnya seperti dikutip Detikcom.
Sementara itu, fenomena yang terjadi di Balaikota Cirebon mirip dengan kejadian di Bali. Namun, burung-burung pipit yang jatuh masih terlihat hidup dan bergerak. Dalam berbagai rekaman video yang beredar di sosial media, terlihat ada beberapa burung yang masih bergerak tetapi seperti tidak sanggup terbang.
“Enggak mati semua, ada yang masih hidup,” kata Ojo salah satu pegawai Balai Kota Cirebon, Selasa (14/9) seperti dikutip dari cnnindonesia.com.
Early warning perubahan iklim
Kedua fenomena yang menggegerkan media sosial ini menarik komentar Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Johan Iskandar. Dirinya menyebut, kasus burung yang berjatuhan pasca hujan turun dapat menjadi indikator terjadinya perubahan lingkungan.
“Yang jelas burung termasuk kasus burung pipit mati dapat menjadi indikator sebagai early warning bahwa ada sesuatu perubahan lingkungan yang perlu dikaji lebih lanjut secara teliti dan intensif,” tutur Johan sebagaimana dilansir detikEdu, Selasa (14/9/2021).
Johan menilai, berdasarkan fakta-fakta yang terlihat pada hujan lebat yang terjadi di Bali dan Cirebon, burung-burung tersebut berjatuhan karena adanya kandungan asam yang terbawa bersama air hujan yang turun di wilayah tersebut.
“Apakah hujan pertama usai kemarau mengandung racun sebagai disebut hujan asam. Seyogianya secara umum air hujannya bisa diukur pHnya yang normal di kisaran 7 yang basa lebih 7 dan yang asam kurang 7,” ungkap Johan.
Dosen Departemen Bilogi FMIPA Unpad ini menjelaskan bahwa hujan asam memiliki tingkat kemasaman (pH) sebesar 5 atau dibawahnya. Sementara, fenomena hujan asam dapat terjadi sebagai akibat dari adanya pengaruh emisi gas pencemar seperti kendaraan hingga pabrik.
“Kalau hujan asam itu terjadi kalau di suatu kawasan terjadi pencemaran berat. Pasalnya dari emisi gas racun kendaraan, dari pabrik-pabrik, dan lainnya menjadi gas pencemar yang tercuci air hujan dan air hujannya bersifat asam dengan pH rendah,” tambahnya.
Johan menambahkan, tingginya tingkat kemasaman dalam air hujan dapat merusak vegetasi hutan di perairan hingga menyebabkan kematian organisme. “Tapi untuk menyangkut burung pipit belum jelas faktor penyebabnya,” paparnya.
Penyebab masih diteliti lebih lanjut
Sementara itu, Ahli ornitologi dari FMIPA BIologi Universitas Udayana, Luh Putu Eswaryanti Kusuma Yuni, mengakui bahwa dirinya belum mengetahui persis apa yang menjadi penyebab kematian dari burung pipit itu.
“Terkait kematian massal burung dì Gianyar, saya tidak tau penyebab pastinya karena tidak berkesempatan untuk melihat langsung ke lokasi,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/9).
Dirinya menjelaskan bahwa saat ini, pihaknya masih menunggu hasil kajian dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali.
Simpang-siurnya penyebab utama fenomena tersebut, memicu peneliti untuk melakukan penelitian dan penjelasan lebih lanjut. Pasalnya, penjelasan-penjelasan yang banyak beredar masih berdasarkan dugaan semata.
Sementara itu, pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali menduga fenomena tersebut dipengaruhi hujan asam.
Sedangkan, dugaan Kepala Bidang Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (DKIS) Kota Cirebon Arif Rahman menyebut hal tersebut terjadi akibat faktor cuaca buruk.
“Sedang diperiksa lebih lanjut,” ujarnya sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com.
Upaya penelusuran mengenai fenomena tersebut juga dilakukan DKPPP Kota Cirebon. Pihak DKPPP Kota Cirebon langsung berkoordinasi dengan tim dari UPTD Balai Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (BKHKMV) di bawah Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat.
Penelitian lebih lanjut juga akan dilakukan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon. Kepala Dinas LH Kota Cirebon, Kadini pun mengatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukannya akan menjadi rujukan lanjut bagi Pemkot Cirebon. Setelah itu, barulah Pemkot Cirebon akan mengambil tindak lanjut.
“Kami sedang meneliti (penyebab kematian burung-burung itu), setelah itu baru kami akan menindaklanjuti,” tuturnya.