Mediatani – Berbagai lapisan masyarakat Indonesia selalu memperingati Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan berbagai cara. Ada yang melakukan dengan cara formal dan ada juga dengan cara yang berbeda.
Petani dan nelayan di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, mengadakan upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, dengan mengenakan pakaian adat Jawa.
Namun, upacara tersebut tidak dilakukan di lapangan seperti upacara pada umumnya. Melainkan dilakukan di lahan sawah mereka yang tergenang air akibat dampak revitalisasi Rawa Pening.
Kendati demikian, para peserta upacara tersebut tetap mengikuti prosesi dengan khidmat meski genangan air mencapai lutut dan dikelilingi oleh eceng gondok.
Saat lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan, beberapa nelayan yang sedang menangkap ikan di atas perahu menghentikan sejenak aktivitasnya dan ikut menyanyikan lagu kebangsaan tersebut.
Koordinator Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB), Suwestiyono menjelaskan bahwa aksi upacara yang dilakukan di lahan tergenang air Rawa Pening tersebut merupakan bentuk protes kepada pemerintah yang tidak memberi solusi kepada nelayan dan petani.
“Sejak dua tahun lalu, kami tak lagi bisa menanam padi di lahan kami karena tergenang air akibat pintu air di Tuntang tidak dibuka,” ungkapnya, dilansir dari Republika, Selasa (17/8/2021).
Ia menyebutkan, ada sekitar 900 hektar luas tanah yang tergenang dengan 2.000 petani. 450 hektar diantara tanah tersebut adalah tanah hak milik.
Sementara sisanya adalah tanah milik negara yang digarap petani sesuai dengan kewilayahannya masing-masing. Ia mengatakan bahwa hal tersebut sudah dilakukan secara turun temurun sejak zaman Belanda.
Dia mengatakan, karena genangan air yang ada di lahan pertanian mereka, para petani sudah tidak berpenghasilan selama dua tahun ini. Untuk itu, ia berharap pemerintah memberi solusi terhadap petani yang tdak bisa menanam.
“Beri kami ganti garapan yang gagal tanam dan gagal panen dengan dana kerahiman karena petani hidup dari sawah. Jika tidak ada tanah garapan, apalagi saat ini masa pandemi, tentu tidak ada penghasilan sama sekali,” ungkapnya.
Sebelumnya, lanjut Suwestiyono, rata-rata petani mampu menghasilkan satu ton gabah dari lahan seluas 10 are yang digarap. Dengan luasan tersebut, petani bisa menghasilkan uang sekitar Rp 5 juta.
Menurutnya, poin penting dari permasalahan yang terjadi selama dua tahun ini adalah pintu air Tuntang Rawa Pening yang menjadi tanggungjawab Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali – Juana.
Berdasarkan undang-undang, BBWS Pemali – Juana yang berkantor di Semarang, Jawa Tengah, pihak yang memiliki kewenangan dalam mengatur segala tentang Rawa Pening termasuk membuka tutup pintu air.
Rencananya, akan dilakukan Revitalisasi Sepadan Rawa Pening dengan elevasi genangan air ketinggian 46, 33 sesuai keputusan PUPR No.365 tahun 2020.
Ia mengatakan para petani tidak menentang rencana revitalisasi tersebut, mereka bahkan mendukung sepenuhnya. Hanya saja, jangan sampai proyek tersebut justru menyulitkan petani.
Sayangnya, selama dua tahun terakhir, ternyata proyek revitalisasi Rawa Pening berdampak pada kondisi petani yang tidak bisa bercocok tanam.
Ia mencoba membandingkan saat Rawa Pening dikelola oleh PSDA atau sebelum tahun 2019. Saat itu petani Rawa Pening masih punya kesempatan untuk bercocok tanam serta bisa melakukan panen minimal sekali setahun.
Ia mengatakan para petani Rawa Pening akan terus berjuang untuk memperoleh kembali hak-hak mereka tanpa rasa letih.