Mediatani – Lembaga penelitian Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) menilai salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencegah terjadinya krisis pangan yaitu dengan melakukan reformasi kebijakan pertanian secara menyeluruh dan mendesak.
Kepala Penelitian CIPS, Felippa Ann Amanta mengatakan potensi terjadinya krisis pangan diakibatkan karena adanya konflik geopolitik global dan adanya ancaman perubahan iklim serta permasalahan pada produktivitas.
“Diperlukan pemahaman dari semua pihak kalau sistem pangan itu kompleks, terdiri atas produksi, distribusi, rantai pasok, dan juga perdagangan internasional. Membenahi salah satu saja tidak akan cukup karena semuanya saling menopang,” terang Felippa Ann Amanta, dilansir dari Antara, Jumat (24/6/2022).
Perlu diketahui, Global Food Security Index 2021 menempatkan Indonesia pada posisi ke-69 dari 113 negara. Hasil indeks tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kategori Sumber Daya Alam dan Ketahanan, yang rentan terhadap risiko sumber daya alam, perubahan iklim, dan adaptasi terhadap risiko-risiko tersebut.
Selain itu, Indonesia juga menempati peringkat ke-54 dalam kategori Keterjangkauan dan peringkat ke-95 dalam kategori Kualitas dan Keamanan pangan.
Dia melanjutkan, peringkat-peringkat tersebut merefleksikan bahwa kebijakan pertanian yang sudah dijalankan perlu dilakukan evaluasi dan adaptasi agar bisa menjawab tantangan dari risiko-risiko yang ada.
Menurutnya, swasembada pangan yang seringkali dijadikan tolok ukur dalam keberhasilan pembangunan pertanian, saat ini sudah tidak relevan untuk Indonesia.
“Terus bertambahnya jumlah populasi dan terus berkurangnya luas lahan pertanian akan berdampak pada penyediaan pangan bagi ratusan juta penduduk. Kita perlu memanfaatkan keterbatasan yang ada dengan metode yang lebih efisien dan tidak membahayakan lingkungan,” ungkap Felippa.
Felipa menambahkan, saat ini kebijakan pertanian perlu diarahkan pada intensifikasi yang fokus pada pemanfaatan sumberdaya lahan yang sudah ada dengan memanfaatkan input pertanian yang berkualitas.
Kebijakan ini, menurutnya, dapat mendukung sistem pertanian berkelanjutan dengan memastikan lingkungan dapat terus memberikan manfaat kepada manusia melalui cara-cara yang aman.
Aditya Alta yang merupakan salah satu Peneliti CIPS mengatakan, upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura sangat mendesak untuk dilakukan sebagai sebuah langkah antisipasi guna menjawab tantangan yang dihadapi sektor pertanian dalam negeri.
Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura juga diharapkan mampu meningkatkan daya saing pertanian nasional.
Statistik menunjukkan, produktivitas padi, kedelai dan bawang merah cenderung tidak mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir dengan masing-masing produktivitas di angka 5 ton gabah kering giling per hektar, 1,5 ton biji kedelai kering per hektar, dan 10 ton bawang per hektar.
CIPS merekomendasikan upaya peningkatan produktivitas lahan maupun tenaga kerja melalui pemanfaatan bibit unggul, peningkatan akses oleh petani terhadap pupuk, pengndalian serangan hama atau Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) lainnya, dan pemanfaatan alat mesin pertanian (alsintan) atau mekanisasi.
Selain itu, Aditya mengatakan, peningkatan produktivitas juga dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan teknik budidaya serta perbaikan dan perluasan jaringan irigasi. Perlu juga adanya penggunaan modifikasi cuaca dalam rangka mitigasi perubahan iklim dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pada sektor pertanian.
Menurutnya, ketimpangan produktivitas tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai) antara wilayah Jawa dan luar Jawa juga menjadi isu yang penting dan perlu diselesaikan dalam upaya meningkatkan produktivitas nasional.