Mediatani – Harga beras dipetani mengalami penurunan, tetapi tidak dengan harga konsumen. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan bahwa harga beras dibulan Februari 2021 pada tingkat petani mengalami penurunan dibanding dengan bulan sebelumnya (month to month/mtm), tetapi justru mengalami kenaikan pada tingkat konsumen.
Sekadar informasi bahwa harga gabah pada tingkat petani mengalami penurunan sebesar 3,31 persen mtm. Sementara itu, pada tingkat penggilingan juga turun lebih rendah 0,08 persen. Pada level grosir diketahui harga beras mengalami kenaikan sebesar 0,05 persen serta ditingkat eceran yang akan dijual ke konsumen mengalami kenaikan sebesar 0,20 persen.
Merespon hal tersebut, Suhariyanto selaku Kepala Badan Pusat Statistik mengatakan bahwa sejauh ini harga beras masih dianggap stabil dikarenakan perubahan harga yang dinilai tidak terlalu berbeda jauh. Di beberapa daerah sudah terlihat adanya panen. Meskipun diperkirakan bahwa musim panen baru akan terjadi di bulan April 2021 mendatang.
“Bisa disimpulkan harga beras stabil dan kita harap tetap stabil di 2021, Kita lihat beberapa wilayah sudah masuk wilayah panen yang jatuh pada Maret dan April” kata Suhariyanto saat konferensi pers virtual, pada Senin (3/1/2021).
Selain itu, ada permasalahan lain yang timbul akibat tingginya curah hujan yang dinilai bisa mengganggu kualitas gabah. Oleh sebab itu, harga gabah pada tingkat petani masih lebih rendah.
“Karena kadar air meningkat menjadi sembilan belas persen. Hal ini disebabkan karena pasokan yang sudah mulai menumpuk dan terjadi penurunan kualitas gabah menyebabkan GKP alami penurunan,” jelas Suhariyanto.
Sekadar informasi, Nilai Tukar Petani (NTP) tercatat mengalami penurunan sebesar 0,15 persen menjadi 103,10 di bulan Februari 2021 dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hal Ini dikarenakan semakin merosotnya nilai tukar terhadap subsektor tanaman pangan dan juga peternakan. Di lain sisi, Nilai Tukar Usaha Pertanian (NUPT) juga mengalami penurunan sebesar 0,27 persen menjadi 103,72. Hal ini juga disebabkan karena berada di subsektor yang sama.
Sementara itu, Tri Wahyudi selaku Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog menyampaikan bahwa salah satu kemungkinan yang menjadi penyebab naiknya harga beras adalah karena tingginya permintaan terkhusus di tingkat konsumen. Badan Usaha Logistik atau Bulog itu sendiri, menurut Tri, telah menerima banyak permintaan termasuk dari berbagai pemerintah daerah guna memenuhi kebutuhan masyarakat terlebih saat dalam penanganan wabah Covid-19.
“Jadi banyak permintaan. Pada saat suplai (gabah) tinggi, permintaan beras tinggi,” kata Tri.
Di sisi lain Tri juga mengatakan bahwa Vietnam dan Thailand menjadi negara produsen beras telah memperingatkan tentang adanya kenaikan harga dunia. Sejauh ini, rata-rata harga beras dunia sudah berada di atas 550 dolar per metrik ton. Sementara itu, Filipina yang juga sebagai produsen beras dunia ikut memprioritaskan pasokan berasnya dalam memenuhi kebutuhan di Indonesia.
Situasi tersebut tentunya menjadi peringatan terutama untuk Indonesia agar terus berupaya untuk mengoptimalkan produksi beras dalam negeri. Bagi Bulog, lanjut Tri, penyerapan gabah harus segera dilakukan sebanyak-banyaknya agar supaya bisa mengamankan penyediaan pasokan. Namun demikian, Bulog ternyata masih menemui sejumlah kendala kendala terkait tingginya harga gabah yang berada di atas HPP sehingga dirasa cukup sulit untuk melakukan pembelian.
“Yang jelas Bulog tetap terus berkomitmen agar di tahun ini kami punya target untuk menyerap gabah setara beras sebanyak 1,4 juta ton. Stok kami yang ada di gudang juga masih cukup besar yaitu sekitar 1,4 juta ton,” ujar Tri.