Mediatani.co – Rendahnya harga komoditi sejumlah sayuran di tingkat petani di Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon, diduga akibat sistem pemasaran dan penjualan yang belum terbangun dengan baik. Padahal untuk kualitas, hasil pertanian dari Kecamatan Waled tidak kalah dengan daerah-daerah lainnya yang merupakan penghasil sayuran.
“Ini kan aneh, sampai petani tidak mau panen karena harganya yang begitu rendah, tidak sebanding dengan ongkos dan biaya tanam,” ujar Ruswandi, tokoh masyarakat Kecamatan Waled yang ditemui Radar Cirebon.
Seharusnya, lanjut Ruswandi, jika melihat biaya yang dikeluarkan petani di musim kemarau, mesti ada peningkatan harga jual ketimbang harga sayur di musim hujan. Namun nyatanya, harga lebih murah di pasaran.
“Ini yang harus dicari. Apakah terjadi monopoli atau tidak? Kalau logika saya tidak masuk. Harusnya harga mahal, tidak semurah itu. Masa iya lalapan leunca dan terong cuma laku 500 perak,” imbuhnya dengan mimik bingung.
Keluhan petani tersebut seharusnya direspons cepat pemerintah. Dinas terkait seharusnya sudah turun menginventarisasi persoalan yang terjadi, dan mengurai benang kusut alur distribusi yang membuat petani menderita.
Seperti yang disampaikan Ketua Kelompok Tani Tumbuh Maju Waled, Maimun. Menurutnya, hampir seluruh komoditi sayur yang ditanam oleh mayoritas petani di Kecamatan Waled harganya anjlok.
“Kita juga bingung, padahal saat ini musim kemarau. Biasanya harga-harga mahal, karena ongkos dan biaya tanam naik. Ini malah turun dan cenderung tidak laku,” ujarnya.
Dia pun mencontohkan harga cabai hijau besar di tingkat petani yang saat ini dibeli tengkulak dengan harga Rp 4 ribu per kilogram. Harga tersebut tidak sebanding dengan ongkos biaya petik harian yang saat ini sebesar Rp 35 ribu.
“Biasanya kalau sehari itu kita bayar orang Rp 35 ribu, maksimal paling dapat 7 kilo, jika dikali 4 ribu paling banter dapat Rp 28 ribu. Sementara biaya yang dikeluarkan Rp 35 ribu. Ketimbang harus nombok, mending tidak usah dipanen,” imbuhnya.
Dia menambahkan, selain menghadapi harga yang rendah, petani di wilayah Kecamatan Waled juga saat ini dihadapkan pada serangan ulat cabai yang tengah banyak dan masif. Tidak hanya menyerang daun, namun juga buah cabai langsung.
“Sudah harganya rendah, kita juga bingung milihnya. Hampir mayoritas petani cabai kali ini gagal. Sekarang sedang kita pulihkan, kita rawat lagi sambil menunggu panen berikutnya. Siapa tahu harganya lebih baik,” tukasnya.
Selain harga cabai hijau besar yang kini tengah jatuh di tingkat petani, anjloknya harga sayur yang tak kalah sadis juga terjadi pada leunca. Sayuran yang biasanya dipakai untuk lalapan, turun drastis bahkan sampai 14 kali lipat dari harga saat ini.
“Bulan lalu harganya masih Rp 7 ribu, sekarang perkilonya 500 perak. Buat apa dipanen, mending dibiarkan tua saja, bisa buat bibit lagi. Kalau dipanen juga percuma, hasilnya tidak seberapa, pasti rugi,” ujar Karjono, salah satu petani dari Desa Ambit, Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon yang ditemui Radar Cirebon di ladang pertaniannya.
Tak cukup hanya di situ, dua komoditi utama petani Waled yang turun drastis juga menimpa terong ungu dan bawang merah. Saat ini, harga terong di tingkat petani hanya Rp 500 per kilogram dan harga bawang merah hanya Rp 8 ribu.
“Saya tanam juga bawang Sumenep, harganya jatuh juga. Kemarau ini kita benar-benar rugi,” imbuh Karjono.