Mediatani – Saat bertemu dengan Komisi XI DPR RI pada Kamis 10 Juni 2021 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyan Indrawati masih belum menjelaskan mengenai rencana PPN sembako ini. Sebab menurutnya tidak etis karena draf belum resmi disampaikan ke DPR.
“Untuk masalah PPN, mungkin Komisi XI memahami bahwa kita menyiapkan RUU KUP yang sampai saat ini belum disampaikan di paripurna, dibacakan. Kami dari etika politik, belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan ke DPR melalui surat Presiden,” ungkap Sri Mulyani.
Meskipun begitu, Sri Mulyani berjanji akan menjelaskan soal PPN sembako dan RUU KUP dalam rapat dengan Komisi XI yang akan digelar di kemudian hari.
Melansir dari liputan6.com (11/6/21), Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo juga angkat bicara terkait hal ini. Menurutnya, pengenaan tarif PPN sembako ini bertujuan untuk memayungi seluruh jenis kelompok barang konsumsi agar dikenai pajak secara adil.
“Sama juga kalau mengkonsumsi daging segar atau ayam segar premium, dan saya mengkonsumsi ayam yang saya beli di pasar, itu sama-sama tidak kena PPN,” ujar Yustinus.
Berkaca pada kondisi tersebut, dia menilai ada suatu ketimpangan sebab masyarakat mampu dan kekurangan yang punya daya beli berbeda sama-sama dapat kemudahan bebas PPN.
“Itu yang jadi distorsi sebenarnya, yang harusnya konsumen mampu menikmati tidak bayar PPN, padahal kalau dikenai dan dia mampu mustinya bisa dipakai untuk mengkompensasi yang tidak mampu,” tutur Yustinus.
Sehingga, pemerintah dalam Pasal 7 RUU KUP coba membuat pengecualian untuk penerapan tarif PPN 12 persen. Dalam hal ini, tarif PPN dapat diubah jadi paling rendah 5 persen hingga paling tinggi 15 persen.
Pengecualian itu juga bisa diterapkan pada PPN sembako, dimana barang konsumsi untuk masyarakat mampu dikenai tarif normal, sementara untuk masyarakat umum bisa dikenai tarif yang rendah.
“Misalnya saya bilang bisa pakai opsi seperti untuk barang pertanian, kan 1 persen. Itu bisa dipakai, jadi kan tidak memberatkan kalau 1 persen dari harga barang. Apalagi kelompok masyarakat miskin kan mendapat bansos termasuk subsidi lain, sehingga itu bisa dipakai untuk mengkompensasi,” terangnya.
“Tetapi pemerintah dapat dari kelompok atas tadi penerimaan lebih besar, sehingga bisa dipakai untuk mensubsidi yang tidak mampu. Jadi itu pertimbangannya,” jelas Yustinus.
Dirinya juga percaya jika pemberian pajak tersebut tak akan banyak mempengaruhi harga sembako di pasaran.
“Mustinya tidak berpengaruh pada kenaikan harga. Kalau untuk kelompok kaya tadi bisa jadi memang ada kenaikan, tapi yang membeli kan memang kelompok yang penghasilannya juga tinggi,” jelasnya.
Bukan hanya membuat pengenaan pajak menjadi lebih adil, Yustinus menyatakan bahwa pemerintah juga telah memperhatikan program pemulihan ekonomi dalam rencana tarif PPN sembako. Sehingga ia memastikan kebijakan tersebut betul-betul akan seiring dengan tahap pemulihan ekonomi.
“Tidak mungkin lah pemerintah ini sedang merancang pemulihan ekonomi kok malah mau dibunuh sendiri. Sudah pasti timing-nya pasti diperhatikan,” tegasnya.
Dia menyampaikan, pemerintah saat ini masih menunggu ketok palu dari DPR agar tarif PPN sembako dan RUU KUP bisa diberlakukan. Namun ia belum bisa menyebutkan kapan pemerintah akan bertemu dengan DPR untuk mendengarkan segala masukan.
“Saat ini belum ada jadwal dengan DPR. Ini yang musti kita tunggu,” ujar Yustinus.