Mediatani – Setelah sebelumnya terjadi kenaikan harga minyak goreng, kali ini ekonomi nasional dihadapkan pada persoalan kenaikan harga pada sejumlah bahan pangan, mulai dari komoditas cabai, bawang putih dan bawang merah, telur, daging ayam, hingga daging sapi.
Dikutip dari CNNIndonesia.com pada Selasa (5/7/2022), di Pasar Ciracas, Jakarta Timur, harga komoditas cabai rawit merah mencapai Rp120 ribu per kilogram (kg). Padahal, normalnya harga komoditas ini hanya Rp40 ribu per kg.
Kemudian di Pasar Senen, Jakarta Pusat, harga cabai rawit merah mencapai Rp95 ribu per kg, begitu pun dengan cabai merah keriting.
Pedagang mengklaim, kenaikan harga cabai ini utamanya diakibatkan oleh kurangnya pasokan dari para petani, sehingga stok yang yang tersedia menjadi terbatas.
“Harga naik karena pasokan dari petani gak ada,” kata Desi (40), pedagang di pasar Ciracas.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada pekan lalu juga melaporkan, stok cabai rawit merah dan bawang sedang mengalami defisit, yang mengakibatkan harganya melonjak di pasar.
“Jadi kalau dilihat di Pasar Kramat Jati dari kebutuhan 30 ton sampai 32 ton (cabai), itu kami hanya bisa kirimkan 3 ton sampai 5 ton saja setiap hari,” terang Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi pada konferensi pers, Kamis (30/6/2022) lalu.
Kenaikan harga pada sejumlah komoditas pangan ini mengakibatkan terjadinya lonjakan inflasi di dalam negeri. Bahkan, melampaui level yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sebesar 2-4 persen pada APBN 2022.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono mengungkapkan, lonjakan harga cabai rawit menjadi salah satu pendorong utama terjadinya inflasi pada Juni 2022 yang tembus di 4,35 persen (year on year/yoy). Realisasi inflasi pun tercatat menjadi yang tertinggi sejak Juni 2017.
“Penyumbang inflasi pada Juni berasal dari komoditas cabai merah, cabai rawit, bawang merah dan telur ayam ras,” Ungkap Margo, dalam konferensi pers virtual, Jumat (1/7/2022).
Padahal sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) telah menyampaikan bahwa stok bahan pangan dalam kondisi yang aman. Sayangnya, fakta yang terjadi di lapangan tidak sejalan dengan klaim tersebut.
Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet menilai, kenaikan harga bahan pokok utamanya diakibatkan oleh terganggunya rantai pasok dari berbagai wilayah sentra cabai.
“Distribusi akan berkurang, sementara di sisi lain permintaan itu tetap terjadi, maka secara otomatis itu akan meningkatkan harga,” ujarnya, Selasa (5/7/2022).
Dia mencontohkan, gangguan alur rantai pasok yang sebelumnya juga terjadi pada kasus minyak goreng, sehingga harganya mengalami keniakan tajam. Pasalnya, permintaan akan minyak goreng tetap tinggi di tengah kelangkaan pasokan.
“Setelah distribusi yang terganggu tetapi permintaannya masih tetap tinggi ini yang kemudian bermuara terhadap harga yang pada saat itu ikut meningkat cukup signifikan. Saya kira, dengan konteks cabai pun relatif sama,” terang Yusuf.
Tentunya kondisi ini mempengaruhi tingkat inflasi dalam negeri yang bergerak ke level di atas 4 persen pada Juni lalu dan tidak menutup kemungkinan kembali tinggi pada Juli 2022. Artinya, ia melihat adanya gangguan rantai pasok yang sangat mempengaruhi inflasi karena otomatis harga-harga menjadi naik.
Kondisi ini, menurutnya, dinilai berpotensi mengganggu proses pemulihan ekonomi ke depannya, jika tidak segera dilakukan upaya pengendalian.
Meski begitu, sampai sejauh ini Yusuf melihat, kenaikan inflasi belum akan membawa Indonesia sampai ke jurang resesi. Ini dikarenakan, fundamental perekonomian dalam negeri yang masih cukup baik.
“Kalau melihat dari berbagai indikator utama perekonomian setidaknya sampai dengan Juni, saya melihatnya belum ada kemudian tanda ekonomi Indonesia akan berada pada fase resesi. Memang, betul bahwa inflasi mengalami kenaikan yang cukup signifikan, namun kenaikan ini masih berada pada range target inflasi yang ditentukan oleh pemerintah,” terangnya.