Mediatani – Pemerintah kembali berencana untuk mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan industri. Rencananya garam yang diimpor tersebut sebanyak 3,07 juta ton. Masih dengan alasan yang sama, garam produksi dalam negeri dinilai belum memiliki kualitas untuk kebutuhan industri.
Rencana impor ini juga sudah sekian lama menjadi ancaman bagi petambak garam. Dampak adanya rencana impor ini bahkan telah menyebabkan harga garam di tingkat petambak kini anjlok ke level Rp 100-300 per kilogram (Kg).
Dampaknya diprediksi akan menjadi semakin parah, pasalnya impor garam yang direncanakan tahun ini menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Berdasarkan data UN Comtrade, impor garam terbesar RI pernah mencapai sebanyak 2,839 juta ton pada 2018 dan pada 2011 sebanyak 2,85 juta ton.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa kebutuhan impor kali ini mengalami peningkatan karena ada tambahan investasi pada industri pengguna garam. Selain itu, kebutuhan dari industri yang sudah ada sebelumnya juga meningkat.
Dilansir dari DetikNews, rencana pemerintah untuk mengimpor garam sebanyak 3,07 juta ton ini menuai protes dari berbagai pihak. Salah satu organisasi yang menolak dengan keras kebijakan tersebut adalah Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU).
Mereka bahkan telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berisi tentang penolakan terhadap rencana impor garam, dan juga hasil survei SNNU yang menjelaskan kondisi produksi garam di berbagai daerah.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan NU Witjaksono menegaskan, pihaknya berharap dapat melakukan audiensi dengan Jokowi dan kementerian terkait untuk menyampaikan secara rinci terkait kondisi nelayan atau petambak yang terkena dampak dari rencana impor tersebut.
“Surat sudah kita berikan langsung ke Presiden RI, dan juga sudah dikirim ke kementerian terkait baik Kementerian Perdagangan, KKP, dan menteri-menteri terkait. Kemudian kita juga sedang menunggu audiensi dengan Presiden RI mengenai hasil dari survei kita di lapangan, dan keberatan kita untuk impor garam maupun impor pangan nasional yang lain,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa saat ini para petambak Tanah Air tengah kesulitan menjual garam produksinya ke pasar. Hal tersebut membuat stok hasil panen petambak menjadi melimpah.
Oleh sebab itu, pihaknya merasa heran dengan rencana pemerintah untuk mengimpor garam hingga 3,07 juta ton. Volume tersebut bahkan lebih banyak dibandingkan tahun 2020 yang hanya sekitar 2,7 juta ton. Akibatnya, harga garam di level petambak dalam negeri juga ikut merosot drastis.
“Kami setelah melihat dan mendengar di lapangan, dari para petani garam di Indramayu, Cirebon, Jawa Timur dan dari Nusa Tenggara Timur (NTT), mereka menyatakan keresahan mereka terkait produksi garam mereka yang tidak terserap pasar,”ungkapnya.
Bahkan, tambahnya, harga di tingkat petani telah mencapai Rp 100-300 per kilogramnya (Kg). Menurutnya, hal ini tentu sangat meresahkan karena daerah-daerah ini memproduksi lebih dari separuh produksi garam nasional, namun mereka menjerit sebab kebijakan ini.
Saking sulitnya para petambak menjual garam ke pasar dan harga yang sangat anjlok, mereka memilih tidak memanen produksi garamnya.
“Kemarin kita sempat datang ke Indramayu, di sana garam tidak sampai di panen. Karena mereka dibelinya hanya Rp 100/Kg, bahkan di bawah Rp 100. Ini sangat mengenaskan, akhirnya mereka sudah menanam garam 1-2 bulan tidak mau panen, dibiarkan saja. Nah ini efek dari impor garam,” tuturnya.
Menurutnya, kebijakan impor sebanyak 3,07 juta ton adalah hal yang tak masuk akal. Pasalnya, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), produksi garam nasional ditargetkan sebanyak 3 juta ton, dan kebutuhan 4 juta ton.
“Jika kita impor 3 juta ton lalu petani mau makan apa? Anak-anak mereka mau sekolah pakai apa? Bahkan kemarin di lapangan, kita mendengar mereka memanen garam itu hanya bisa untuk membeli 15 Kg beras, sangat menyayat hati,” ungkap Witjaksono.
Apabila rencana impor garam ini tetap dilakukan tanpa melihat kondisi yang terjadi di lapangan, maka dikhawatirkan para nelayan atau petambak garam tak mau lagi untuk memproduksi garam.
Ia menuturkan bahwa petani paling dirugikan dengan adanya kebijakan ini. Sehingga, para petani berpotensi untuk beralih profesi dan lahan garam juga berpotensi beralih fungsi. Jika hal tersebut terjadi, maka Indonesia akan benar-benar bergantung pada impor garam dan tidak berdaulat lagi pada sektor pangan nasional.