Mediatani – Pemanfaatan getah kemenyan untuk diolah menjadi beragam produk mulai dari wewangian hingga keramik membuat hasil bumi ini memiliki permintaan ekspor dan nilai yang tinggi di pasaran.
Di Indonesia, daerah penghasil kemenyan dirajai oleh Tapanuli Utara. Hutan pohon kemenyan di daerah ini terhampar di Kecamatan Parmonangan, Sahae, dan Sipahutar. Dengan potensi ini, seharusnya kemenyan menjadi komoditas potensial untuk mendongkrak ekonomi warga.
Sayangnya, tingginya peluang ekspor tersebut tidak sebanding dengan harga yang didapatkan oleh petani kemenyan lantaran penguasaan tata niaga yang dilakukan tengkulak.
Salah satu petani yang juga merasakan hal ini adalah Hengky, petani kemenyan asal Tapanuli Utara yang mengaku sengsara dengan hasil penjualan kemenyan.
Hengky mengaku sebagai petani kemenyan tidak bisa menentukan harga dan merasa hasil panen kemenyannya tidak pernah dibeli dengan harga yang pantas oleh tengkulak.
Menurutnya, rendahnya harga hasil panen kemenyan itu tidak sebanding dengan resiko kerjanya. Pasalnya, petani harus memanjat pohon setinggi 6 meter untuk memanen getah kemenyan.
“Kemenyaan ini punya beberapa jenis. Komoditi ini tidak pernah dibeli dengan harga yang pantas, harga yang tidak sesuai dengan resiko kerja, karena kami harus memanjat pohon kemenyaan hingga ketinggian 6 meter,” ujar Hengky pada tim Mediatani (30/10).
Di daerahnya, pengepul membeli kemenyan dari petani dengan harga Rp260 ribu hingga Rp300 ribu per kg, tergantung dari kualitas kemenyan.
“Pokok persoalannya, pengepul kemenyaan kebanyakan tidak pernah terbuka dengan harga dan peruntukan kemenyaan ini. Jadi untuk harga komoditi ini bisa dibilang harga semena-mena,” ungkap Hengky.
Hengky yang juga berprofesi sebagai pegawai honor ini pun mengaku bahwa kondisi ini bukanlah hal yang baru saja dialami oleh para petani kemenyan, namun sudah berlangsung sejak lama.
Padahal, hasil dari penjualan kemenyan ini Hengky gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk dia dan tiga orang anaknya, mulai dari makan hingga biaya sekolah.
Mirisnya lagi, kondisi ini belum mendapat respon dari pemerintah setempat. Menurutnya, tidak ada kebijakan pemerintah yang pro terhadap petani kemenyan untuk menyikapi rendahnya harga jual yang dibeli oleh tengkulak.
“Pemerintah di sini kurang merespon masalah ini. Tidak ada juga bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi petani kemenyan hingga saat ini,” ungkap Hengky.
Rendahnya harga jual yang didapatkan oleh petani membuat mereka mulai kehilangan asa untuk terus bertani kemenyan. Sebab, jika kondisinya terus seperti ini, maka tidak akan ada peningkatan taraf hidup petani kemenyan.
“Para petani ada rasa malas untuk lanjut. Lahan yang terbatas dan tingginya kebutuhan hidup membuat nasib keluarga petani dapat dipastikan berada pada taraf paling bawah, anak-anak kami tidak bisa melanjutkan cita-cita dan kami khawatir ini akan berkelanjutan dari generasi ke generasi,” ujar Hengky.
Melihat mirisnya kondisi petani kemenyan saat ini, Hengky pun berharap bisa mendapat pasar atau pembeli yang bisa menyerap hasil panennya dengan harga yang lebih layak.
“Saya anak petani kemenyaan sudah menjadi pegawai honor dari 2009 hingga saat ini. Jadi saya berkeinginan untuk merubah pola hidup petani kemenyaan,” tutup Hengky.