Mediatani – Sejak tahun 2017, Nikita dan sepuluh pemuda bergerak mencoba profesi baru sebagai seorang petani. Padahal, profesi yang seringkali dianggap sebelah mata ini cenderung dihindari oleh generasi milenial. Namun hal ini tidak berlaku Nikita, Mukhlis, Evid, Acil, Jalul, Ali, Syifa, Zaki, Darceng, Gaman dan Dena.
Dilansir dari laman Kompas.com, mereka kemudian menyewa lahan yang luasnya 4.200 meter persegi milik kas Desa Karangpetir, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
“Kami bersepuluh ini kenal waktu menggagas gerakan ‘perpus jalanan’ tahun 2017. Kami banyak diskusi dan berjejaring hingga bertemu dengan seorang tokoh tani di Yogya, namanya Gus Komar,” ungkap Nikita.
Nah, dari Gus Komar inilah Nikita dan kawan-kawan menggali banyak ilmu pertanian organik berkelanjutan. Tidak hanya itu, mereka pun menimba ilmu terkait sociopreneur yang berbasis teknologi terapan.
Bermodalkan tekad dan semangat, pada awal tahun 2018, Nikita dan kawan-kawan mulai mencari lahan dan akhirnya menemukan Karangpetir. Meskipun belum ada pengalaman sebelumnya menjadi petani, Nikita dan kawan-kawan tetap mantap melangkah.
Nikita menyadari, hal yang bisa dimanfaatkannya adalah jejaring atau koneksi yang dimilikinya sesama penggiat lingkungan. Oleh sebab itu, mereka bekerjasama dengan Aliansi Organik Banyumas (AOB).
Dengan bersinergi bersama, mereka mampu menyulap lahan sawah yang telah mereka sewa itu menjadi “taman bermain” yang sekaligus berfungsi sebagai demonstration plot (demplot) untuk padi organik.
“Kami kampanyekan gerakan ini melalui media sosial, jadi mulai cari nama untuk kelompok petani kecil kami. Kebetulan ada anggota kami yang kenal sama Wira Nagara (komika, red) dan muncul ide nama ‘Harvestmind’,” jelasnya.
Dijelaskannya bahwa Harvestmind berarti memanen pikiran, dimana Nikita menginginkan jika lahan yang digarapnya itu bisa menjadi kristalisasi ilmu dan pengalaman sosial yang selama ini hanya menjadi bunga bibir di ruang diskusi.
Di musim tanam pertama, mereka yang benar-benar baru terjun di dunia pertanian ini memang cukup menguras pikiran dan tenaga. Mereka menjelma menjadi petani yang pekerja keras, tekun dan berdedikasi tinggi. Mulai dari membuat pematang, membajak lahan, hingga mengolah pupuk dan pestisida organik.
Sebagai penganut pertanian organik, mereka memilih limbah urin kelinci untuk memperkaya nitrogen dalam tanah. Sedangkan untuk kebutuhan kalium dan fosfat, mereka menggunakan hasil fermentasi sabut kelapa dan pisang.
Untuk pestisida, mereka menggunakan daun pepaya, mengkudu dan daun sirih yang telah difermentasi selama empat bulan. Mereka percaya, dengan menggunakan bahan alami tersebut, ekosistem alami di sekitarnya akan tetap terjaga.
Serangan hama serangga mampu diatasi oleh predator lain yang akan tetap hidup meski tanpa tersentuh pestisida kimia. Dengan menerapkan pertanian organik, Nikita jamin bahwa produk beras yang diproduksinya sehat dan bebas dari residu kimia.
Saat panen raya tiba, musim tanam pertama Harvestmind berbuah manis. Nikita dan kawan-kawan berhasil memanen padi organik sekitar 1,7 ton gabah kering padi organik varietas mentik susu. Terbayar sudah segala jerih payah mereka.
Industri pertanian, menurut Nikita, merupakan sektor yang tidak terlalu terdampak akibat pandemi. Harga pasar untuk beras organik AOB ini masih stabil di angka dua puluh ribu rupiah.
Meskipun diketahui bahwa untuk menjadi beras, bobot dari gabah kering ini akan susut hingga lima puluh persen. Meskipun begitu, Nikita dan kawan-kawan tidak cemas sebab semakin hari produk organik kian mendapat tempat di pasar domestik.
Nikita mengungkapkan bahwa selain lewat koperasi AOB, dia dan kawan-kawannya juga menjual produk melalui media sosial, sehingga pasarnya pun telah terbentuk secara organik.