Mediatani – Limbah pelepah pisang seringkali hanya dibuang begitu saja dan membuat lingkungan. Alasan itulah yang mendasari sekelompok mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk memanfaatkan limbah pelepah pisang ini menjadi bahan penyerap (hidrogel) ramah lingkungan.
Beberapa mahasiswa yang melakukan penelitian ini, yaitu Hardian Ridho Alfalah bersama Delvira Sari dari Fakultas Biologi, dan Talitha Tara Thanaa dari FMIPA. Mereka dibimbing langsung oleh dosen pendamping Lisna Hidayati Lisna Hidayati, S.Si., M. Biotech.
Pelepah pisang dianggap sebagai bahan penyerap atau hydrogel yang ramah lingkungan sebab didalamnya mengandung selulosa yang tinggi. Selulosa ini bisa digunakan sebagai bahan penyerap dengan kemampuan serap yang tinggi.
Untuk memperoleh selulosa yang baik dari limbah pelepah pisang, terlebih dahulu dilakukan proses isolasi. Proses isolasi ini dilakukan agar dapat menghasilkan selulosa yang bebas dari kandungan zat lain seperti lignin dan hemiselulosa.
“Selulosa yang dihasilkan oleh pelepah pisang, lalu disintesis menjadi turunannya karboksimetilselulosa. Sehingga diperoleh hasil dari bahan penyerap berbasis daya serap cukup tinggi melalui proses ikat silang,” kata Hardian Ridho Alfalah, Senin (23/8/2021).
Dalam penelitian tersebut, ada empat varietas limbah pelepah pisang yang digunakan, yakni pisang mas, pisang raja, hingga pisang kepok. Menurutnya, keempat varietas ini memiliki karakteristik dan kemampuan yang beda sebagai penyerap.
“Selain karakteristik dan daya serap yang tinggi, keempat varietas pisang lokal yang dipilih mudah untuk ditemukan dan harga tidak terlalu mahal. Bahkan kadang bisa menemukan di pekarangan rumah sendiri,” tambahnya.
Berawal dari limbah popok bayi
Gagasan ini sebenarnya berawal dari keprihatinan terhadap limbah popok bayi yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Limbah popok ini sulit untuk terurai, sehingga kerap mencemari lingkungan.
Limbah popok bayi tersebut kerap mencemari lingkungan karena merupakan produk sekali pakai yang semakin menumpuk dan sulit terurai.
Semakin tinggi angka kelahiran maka semakin tinggi popok bayi yang digunakan, semakin tinggi popok yang digunakan maka semakin tinggi juga sampah yang dihasilkan.
Untuk diketahui, presentase pemakaian popok bayi di Indonesia adalah sekitar 97,1%. Biasanya, bayi memakai popok sebanyak 3-4 buah per hari. Jika dihitung rata-rata pertahun pemakaian di Indonesia meningkat dengan angka kelahiran dan ibu hamil sekitar 4,2-4,8 juta.
Parahnya, bahan penyerap/Super Absorbent Polymer (SAP) dalam popok bayi mengandung natrium akrilat dari minyak bumi. Kandungan itu sulit untuk terurai lingkungan, dan kotoran yang tersimpan dalam popok bisa membahayakan kesehatan tubuh.
Waktu yang digunakan untuk mengurai sampah popok bayi pun sangat lama, yaitu sekitar 250-500 tahun untuk bisa terurai dengan sempurna.
“Dengan adanya pengembangan bahan penyerap berbasis selulosa ini, diharapkan jadi inisiator pengembangan popok bayi yang ramah lingkungan. Dengan begitu, dapat membantu mengurai persoalan limbah popok bayi dan menciptakan lingkungan yang bersih,” kata Ridho.