Mediatani – Petani sangat dirugikan dengan maraknya pestisida palsu dan pestisida ilegal yang beredar. Selain tidak diketahui mutu dan efikasinya, pestisida palsu ini merugikan petani karena harganya sama dengan produk aslinya.
Untuk mencegah dan mengawasi peredaran pestisida palsu tersebut, Menteri Pertanian terus melakukan berbagai upaya dengan mengajak berbagai kalangan untuk bekerja sama dengan pemerintah.
Diantaranya yang gencar melakukan pencegahan dan pemberantasan peredaran pestisida palsu ini adalah Polri dan CropLife Indonesia. Kedua pihak tersebut bekerjasama melalui kegiatan seminar nasional Anti Pemalsuan/Anti Counterfeit yang bertajuk “Sinergi Penegakan Hukum (Anti-Pemalsuan) dalam Pencapaian Program Swasembada dan Ketahanan Pangan” di Bandung, 21-22 Oktober 2020.
Mentan pun mengapresiasi kegiatan tersebut. Menurutnya, hal tersebut dilakukan demi terwujudnya swasembada pangan serta untuk menjaga ketahanan pangan nasional dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan untuk lebih dari 270 juta jiwa masyarakat Indonesia.
“Pestisida yang beredar di lapangan harus sesuai dengan komposisi yang didaftarkan. Jangan sampai setelah mendapat izin dan dikemas dalam botol dikurangi komposisinya,” ujar Mentan Shayrul Yasin Limpo dalam keterangan tertulis, Minggu (24/10/2020).
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Sarwo Edhy mengatakan, pemalsuan pestisida juga merugikan produsen karena terkait hak kekayaan intelektual termasuk di antaranya paten, hak cipta, hak desain industri, merek dagang hak varietas tanaman dan indikasi geografis.
“Setiap tahun ribuan produk pestisida telah ditarik surat izin edarnya karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Tahun 2020 ini Kementan telah mengeluarkan aturan baru tentang uji mutu, uji efikasi dan uji toksisitas melalui Kepmentan Nomor 11 tahun 2020 tanggal 3 Januari 2020 yang harus dipatuhi oleh para produsen,” jelas Sarwo Edhy dalam seminar yang dihadiri lembaga hukum di Indonesia ini.
Sarwo Edhy yang juga ketua Komisi Pestisida Republik Indonesia ini menjelaskan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Sarana dan Prasarana Pertanian (PSP) pada tahun 2020 ini juga telah melakukan penguatan terhadap fungsi Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) pusat dan daerah.
“Tujuannya dapat memberikan upaya preventif dalam bentuk penyuluhan terutama di kios-kios pertanian. Juga melakukan koordinasi dengan satgas pangan di Bareskrim Polri serta stakeholder lain,” ungkap Sarwo Edhy.
Sektor pertanian yang masih bertumbuh sebesar 16,24 persen di tengah pandemi, harus dipertahankan dan difokuskan. Perang terhadap pemalsuan produk Direktur Eksekutif CropLife Indonesia Agung Kurniawan menyampaikan, perang terhadap pemalsuan produk ini tidak hanya dilakukan baru-baru ini saja, namun sudah dilakukan sejak sepuluh tahun yang lalu.
“Dimulai dari 2010-2018 CropLife Indonesia, berfokus pada edukasi dan kampanye di tingkat petani, PPL dan kios serta container management (wadah bekas pestisida),” ungkap Agung.
Kemudian, pada 2019-2020 berfokus pada sinergitas para stakeholder dari pusat maupun daerah, terutama untuk penegakan hukum. Selain itu, rencana untuk 2021-2022 pun sudah tersusun yaitu memperkuat kolaborasi dan berkelanjutan dengan melakukan pengawasan bersama dan pendekatan di level nasional.
Terkait penegakan hukum yang sudah dilakukan selama tahun 2019-2020, Agung Kurniawan memberikan gambaran kasus yang terjadi di Brebes agar dapat menjadi role model bagi daerah-daerah lain mengingat Brebes merupakan daerah dengan pengguna pestisida terbesar se-Asia Tenggara.
“Di tengah pandemik Covid 19 ini, kami memberikan konsen dan fokus lebih terhadap topik anti pemalsuan ini karena kami tidak ingin krisis kesehatan yang sudah terjadi di Indonesia ini berakibat juga menjadi krisis pangan akibat ulah oknum-oknum yang merugikan petani,” imbuhnya.
Dari segi penegakan hukum, Kanit V DitTipidter Bareskrim Polri AKBP Sugeng Irianto, juga menyampaikan tentang penegakan hukum dalam penanganan kasus pestisida palsu dapat dikenakan pasal berlapis.
“Seperti yang terjadi di Brebes pada awal tahun 2019 dan 2020, penegakan hukum dapat dilakukan dengan penggunaan UU RI tahun 2019 pasal 123 dan 124 dengan pidana maksimal 7 tahun dan denda maksimal 5 miliar rupiah,” ungkapnya.