Hasil penelitian yang dilakukan Perfecto dan Vandermeer (2010) menunjukkan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk disuatu wilayah akan berbading lurus dengan laju kerusakan hutan, hal ini disebabkan karena kegiatan perambahan untuk tujuan pemenuhan sandang, papan dan pangan.
Indeks ketimpangan pendapatan yang diukur dengan gini ratio menunjukkan ketimpangan yang lebar antara kelompok yang kaya dan miskin yakni diangka 0.397 (BPS, 2016). ini menunjukkan pertumbuhan penduduk yang meningkat, akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan melalui SDA tidak terdistribusi dengan baik (Situmorang, 2016).
Permasalahan kependudukan dan migrasi yang berjalan mengikuti mekanisme pasar dan tidak dijadikan sebagai dasar dari pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Imbasnya, kebijakan disektor kehutanan berjalan dengan asas keterlanjuran akibat konsekuensi dari kebijakan sebelumnya dan semakin membawa negara kita dalam kondisi krisis ekosistem.
Paradoks Ruang Terbuka
Desakan internasional menuntut pemerintah untuk melakukan pengurangan emisi karbon kian gencar dilakukan, hal mengharuskan pemerintah untuk menekan laju kerusakan hutan dan sektor lainnya. Desakan ini kian mengarahkan perumusan kebijakan pemerintah yang sesungguhnya bertentangan pada kebutuhan dari sebuah negara berkembang dan kondisi sumber daya hutan sebagai penghasil karbon yang dari tahun ketahun semakin terpuruk.
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tak urung mengakibatkan pelaksanaan kebijakan pemerintah dilapangan terhambat bahkan sama sekali hanya membuang energi dan anggaran, larangan menebang pohon oleh pemerintah dibalas dengan kerugian negara akibat pembalakan liar sebesar Rp. 35 Trilyun pertahun (KPK, 2015).
Persoalan Paradigmatis
Usaha perbaikan oleh pemerintah melalui perangkat kebijakan yang masih jauh dari harapan, membawa perhatian para peneliti kebijakan pemerintah pada sebuah diskursus mengenai adanya persoalan paradigmatis dalam pengelolaan SDA yang dialami oleh pihak-pihak yang merumuskan kebijakan pengelolaan. Kajian ini mengkritik paradigma “The forest first” yang masih menjadi dasar dalam penentuan kebijakan kehutanan.
Paradigma ini memandang ilmu mengelola manusia dan ilmu mengelolaan hutan secara terpisah (Kartodihardjo, 2016), perilaku manusia dapat diatur melalui perangkat hukum, berdasarkan atas berat-tidaknya sanksi yang diberikan, ukuran kinerja berdasarkan atas besar kecilnya upah yang diberikan.
Hal tersebut kemudian menciptakan sebuah krisis mentalitas dan mengaki batkan pengelolaan sumberdaya alam hutan yang lebih mengedepankan unsur ekonomi economic reason dan mengabaikan nilai mental reason bahwa mengelola hutan adalah sebuah kewajiban selaku ummat manusia dan konsekuensi logis akibat kegagalan adalah sama dengan kehilangan identitas kemanusiaan.
Kelembagaan dan Pemberdayaan sebagai upaya memanusiakan manusia
Kegiatan pemberdayaan masyarakat tidak jarang ditemui dan dilaksanakan melalui seminar, Bimbingan Teknis, pelatihan yang berbatas pada pengagendaan dengan scheadule yang terkesan sangat kaku dan mekanistik, selain itu kesimpulan dari kegiatan tersebut terkadang tidak dipertimbangkan berdasarkan dengan fakta dan hal yang sebenarnya terjadi dilapangan, bias pendekatan scientific, spekulatif dan cenderung mengeneralisasi.
Pembanguan kelembagaan merupakan hal yang menjadi penting untuk dilakukan dalamrangka membangun partisipasi dan peran aktif masyarakat pada skala teknis dan bersifat organis, peberdayaan dan pembangunan kelembagaan harus di topang melalui kebijakan pendanaan (insentif) baik itu dalam bentuk penyediaan modal dan jaringan pemasaran terhadap hasil komuditi (hutan non hutan) dalam mendorong lahirnya industri perkayuan/pangan dengan nafas yang lebih panjang dan berkelanjutan.
*) Ali Akbar
Mahasiswa Magister Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor