Mediatani – Menanam di planet lain selain di bumi, kedengarannya sangat mustahil. Namun, di masa perkembangan teknologi yang begitu cepat, rasa – rasanya bukan tidak mungkin nanti kita akan menanam di planet selain di bumi. Transplantasi tanaman yang ditanam di bumi memiliki risiko yang cukup tinggi dalam kondisi rapuh. Sehingga beberapa ilmuwan penasaran jika hal ini dicoba di luar angkasa.
Mike Hopkins adalah astronot pertama yang melakukan transplantasi tanaman pertama di luar angkasa. Mike melakukan transplantasi di stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan berhasil. Keberhasilan tersebut mengejutkannya dan beberapa ilmuwan NASA lainnya yang bekerja pada Vegetable Production System (Veggie) NASA di bumi.
Dilansir dari IFL Science, Hopkins mengatakan, tanaman yang di transplantasikannya adalah kangkung ‘Red Russian’ dan pakcoy (sawi sendok). Keduanya tumbuh bersama dengan kangkung dan pakcoy donor.
Para ahli mengatakan bahwa tanaman yang ditransplantasikan ini memiliki kemungkinan tidak akan bertahan di bumi. Hal itu disebabkan karena adanya kondisi gayaberat mikro. Ide untuk menanam tanaman di Luar Angkasa Internasional (ISS) ini dinilai penting sebagai misi luar angkasa dalam jangka panjang. Selain itu dinilai sebagai pemukim masa depan di planet lain.
Tak hanya itu, para astronot umumnya hanya memakan makanan kemasan di ISS yang mungkin dapat menurunkan nutrisinya karena semakin lama disimpan. Kebutuhan konsumsi sayuran akan menyeimbangkan gizi para astronot. Selain dikonsumsi, para ahli juga mengirimkan sebagian tanaman yang tumbuh di luar angkasa ke Bumi untuk dipelajari.
Sementara itu, pada tahun 2020 lalu, Australia bagian Selatan mengungkapkan strategi jangka panjang untuk industri antariksa mereka. Yaitu rencana produksi pangan di luar angkasa dan meluncurkan satelit. Seperti dilansir dari Xinhua Indonesia pada Rabu (25/11/2020) strategi ini rencananya digunakan untuk pemanfaatan di bidang industri yang saat ini sedang berkembang dan mempercepat pemulihan ekonomi lokal dari krisis Covid-19.
Australia Selatan berperan aktif dalam kontribusi terhadap upaya mewujudkan produksi pangan di luar angkasa. Dengan memanfaatkan keahlian produksi pangan negara bagian tersebut. Merespon rencana tersebut, University of Adelaide dan Kebun Raya Adelaide dinilai berpotensi dan memiliki kapabilitas untuk membantu pekerjaan terkait produksi pangan diluar angkasa.
Richard Price selaku Kepala Eksekutif Pusat Industri Antariksa Australia Selatan mengatakan bahwa Australia Selatan dinilai berpotensi menjadi pusat keahlian pertanian dan produksi pangan berbasis luar angkasa di Australia, jika semua rencana strateginya bisa tercapai. Meskipun layanan tradisional terkait luar angkasa pada dasarnya mendukung cara hidup kita di bumi dan memberikan sebagian besar pendapatan yang masuk ke sektor antariksa. Kendati demikian, Price mengatakan bahwa terdapat peluang fenomenal untuk layanan luar angkasa jenis baru.
Strategi tersebut menyebutkan bahwa ini berarti fokus pada peluncuran ke orbit rendah Bumi yang dapat diakses, pembelajaran mesin, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mengekspolitasi data yang didapat dari luar angkasa. Lalu, kemajuan teknologi untuk mengembangkan satelit kecil, perluasan tenaga kerja terampil, serta pembangunan ekosistem inovasi di Australia Selatan.
Steven Marshall selaku Kepala Pemerintahan Australia Selatan mengatakan, Strategi Sektor Antariksa ini bertujuan menggerakkan kontribusi negara bagiannya dalam merealisasikan tujuan Badan Antariksa Australia untuk melipattigakan ukuran industri antariksa domestik Australia menjadi 12 miliar dollar Australia (Rp 124,7 triliun) pada 2030.
“Visi pertumbuhan kami sederhana, pada 2030, Australia Selatan akan mendesain, memproduksi, meluncurkan, serta mengoperasikan SmallSats (satelit kecil),” ujar Marshall.
“Untuk memberikan kecerdasan yang diperoleh dari luar angkasa dan dapat ditindaklanjuti bagi misi berdaulat Australia, yang menciptakan ratusan lapangan pekerjaan dalam prosesnya,” lanjutnya.