Menghormati Petani dengan Tidak Membuang Nasi

  • Bagikan
Para Ibu-ibu buruh tani sedang "Tandur" foto: AA Hilman
Para Ibu-ibu buruh tani sedang "Tandur" foto: AA Hilman

Oleh: A Arief Hilman*)

Mediatani.co – Kata yang termahtub dalam judul tersebutlah yang pertama terlintas di benak penulis ketika berkesempatan kembali turun ke sawah. Pada kesempatan itu ada satu rutinitas petani di sebuah desa di Kab Sumedang yakni melakukan “Tandur” (menanam Padi). Kegiatan tersebut melempar penulis untuk kembali menyelami memori di tahun-tahun sebelum 2005 yang kala itu penulis masih duduk di bangku SMP.

Padi ialah suatu manifestasi dari Sang Hyang Sri. Begitu pentingnya padi untuk masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Sunda pada khususnya. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, nasi merupakan produk pangan yang dihasilkan dari bulir-bulir beras yang dihasilkan dari proses pengolahan padi atau gabah.

Lalu apa hubungan nya menghormati petani dgn tdk membuang nasi? Berdasarkan hasil mini riset yang dilakukan oleh penulis, seorang buruh tani dibayar Rp. 35.000 untuk bekerja menanam padi dari pukul 06.00 – 12.00 atau istilah di kampung disebut Bedugan. Artinya seorang buruh tani hanya dibayar Rp. 6000,-/jam.

Mayoritas yang terjadi di lapangan tanpa diberikan kompensasi atau tunjangan apapun. Namun, beberapa orang memberikan kompensasi atau tunjangan berupa coffee break dan makan siang. Biasanya pula ada yang menambahkan cemilan guna mengisi perut di siang hari sekitar pukul 11.00.

Proses yang dilakukan oleh para petani dengan disertai para buruh taninya itu dimulai dengan Babut. Proses ini ialah proses memindahkan benih padi yang telah siap tanam dari tempat persemaian (Pawinian) dengan mengikat benih2 menjadi satu ikatan agar mudah diangkut ke area tanamnya. Area tanam pun harus telah digaret (diberi garis untuk petakan menanam). Kemudian benih yang telah diikat tersebut dipotong bagian atasnya agar nantinya bisa mekar kembali dan cepat tumbuh. Proses selanjutnya benih yang telah siap di tebar di petakan-petakan sawah untuk dilanjutkan oleh buruh tanam (mayoritas merupakan ibu-ibu) untuk menanam nya.

Pasca melakukan babut yang bisa menghabiskan waktu sekitar 2 jam, dengan sendirinya mereka mengambil waktu break untuk sejenak istirahat dan sarapan. Sarapan sederhana diselingi candaan ibu para ibu-ibu pejuang akan sangat membuat hati tersentuh. Tanpa adanya mereka, barangkali masyarakat tidak bisa menikmati nasi yang terhidang di atas meja. Jikalaupun ada, bisa jadi hanya didapat dari import beras yang tentunya akan semakin membebankan negara.

 Pembagian tugas

Pada pembagian tugas ini, enam orang buruh (ibu-ibu) ditambah dengan satu petani (petani perempuan) bertugas menanam padi di lahan sawah dengan luas 200 bata (2800 m2). Kemudian dua orang pria (biasanya satu buruh dan satu petani laki-laki) bertugas menggaret (menggarisi lahan) dan juga mengangkut benih yang telah siap tanam. Proses selanjutnya para buruh kadang menamainya dengan proses “Berdoa”.

Secara pengetahuan lokal kegiatan menanam padi merupakan doa pembawa nafas kehidupan. Setiap helai benih yg mereka tanam, mereka berharap dapat membawa rezeki dan berkah serta kesehatan. Mereka berharap dikemudian hari padi yang dihasilkan dapat dimakan dengan kondisi yang baik dan membawa kebaikan bagi yang memakannya.

Berdasarkan dialog yang dilakukan penulis bersama mereka ini, kesedihan mereka adalah sudah sangat berkurangnya penerus generasi mereka. Usia para petani dan buruh tani ini berkisar antara 40-75 tahun. Ada pun yang masih cukup muda ialah yang berumur 35 tahun dan sudah sangat langka. Survei yang dilakukan penulis pada beberapa desa di Kec. Ujung Jaya Kab. Sumedang. Generasi muda petani dan buruh tani tidak lebih dari 10 orang di tiap desanya.

Dibalik kesederhanaan mereka ini, ternyata mereka memiliki harapan untuk anak-anak mereka. Mereka berharap anak-anak mereka dan generasi selanjutnya tidak perlu bersusah payah seperti mereka dalam mencari penghasilan. Mereka berharap anak-anak mereka bisa bersekolah dan memiliki kehidupan yang lebih baik di kota.

Menjadi paradoks dan juga dilema bagi penulis. Satu sisi mereia berharap lestarinya petani dengan regenerasi yang terus berlangsung, satu sisi mereka pun menginginkan anak mereka bisa hidup lebih layak di kota.

Sedikit wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada pemilik lahan ialah tentang sistem pengupahan berikut pembayarannya. Pemilik lahan pun menerangkan bahwasanya ia sebenarnya ingin memberikan upah lebih dari biasanya. Hanya saja untuk menjaga kondisi sosial budaya dan mencegah adanya kegaduhan, maka pemilik lahan harus mencari cara lain selain menaikkan harga upah. Salah cara yang bisa ditempuh ialah dengan memberikan tunjangan berupa makan siang dan cemilan atau coffee break.

Secara tradisional, pemilik lahan pun memegang prinsip siapa menanam ialah yang berhak memanen. Ketika musim panen tiba, pembagian hasil panen yang biasa dilakukan ialah menggunakan skema pembagian 80:20. Ketika panen tiba, bila para buruh ini mendapat hasil panen 100 kg padi, maka 80 kg untuk pemilik lahan (petani) dan 20 kg untuk pemanennya.

 Analisis kasar pendapatan

Lahan seluas 200 bata (2800 m2) berharga pasar di angka kisaran Rp 200.000.000,- dapat menghasilkan gabah paling bagus 1,8 ton basah (menggunakan benih biasa). Dikurangi untuk upah buruh tani 6 orang  sebanyak 360 kg. Total yg didapat pemilik lahan di angka 1.440 kg padi basah.

Harga padi basah jika saat musim panen paling bagus di kisaran Rp 4.600/kg. Jadi Rp 4.600 x 1.440 kg = Rp. 6.624.000,-. Hasil yang diperoleh selama proses  satu kali tanam padi dari awal hingga panen selama kurang lebih 4 bulan. Biaya produksi yang dikeluarkan selama 4 bulan tersebut di kisaran angka Rp 3.000.000,-. Angka tersebut sudah termasuk biaya pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, dan pemanenan.

Sehingga keuntungan bersih bertani selama 4 bulan adalah Rp 3.624.000,- atau bisa dikatakan kurang dari Rp 1 juta tiap bulan. Dengan modal berupa lahan atau fix cost yang sangat mahal hingga ratusan juta tersebut sebenarnya petani bisa mengalihkan ke arah jenis usaha lain. Namun menurut pengakuan beberapa pemilik lahan, bukan hanya semata mencari keuntungan materiil yang mereka ingin raih, tetapi ada nilai lain yang ingin mereka raih.

Dengan berbekal kearifan tradisional, nilai yang ingin mereka raih ialah yang mereka sebut “Doa kehidupan” seperti yang telah penulis ceritakan. Oleh karena itu penulis berharap pembaca sekalian untuk tidak membuang-buang nasi. Mari bersama untuk bisa merenung dan melakukan hal kecil guna membalas jasa mereka dengan makan secukupnya dan tidak membut nasi menjadi mubadzir. Hargai para petani dengan tidak membuang nasi. [end]

*) Penulis merupakan Asessor bidang Sosial PT Aksenta, Sekretaris Jenderal Sylva Indonesia 2012-2014, Putera Asli Sumedang.

/AAH-J(ed)

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version