Mediatani – Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meminta para penyuluh pertanian untuk mendampingi petani secara penuh dalam setiap periode musim tanam hingga panen.
Sumber daya alam yang sangat mendukung semestinya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi petani sehingga tak ada lagi petani yang miskin.
“Tugas penyuluh mendekatkan alam yang bagus, air yang terus mengalir, matahari yang ada, mari kita wujudkan petani tidak ada yang miskin karena semestinya petani tidak miskin,” kata Syahrul dalam Training of Trainers Penyuluh Pertanian secara virtual, Jumat (23/4), dilansir dari laman Republika.co.id.
Syahrul mengatakan, bertani, terlebih untuk sub sektor tanaman pangan sangat menjanjikan untuk memberikan penghasilkan. Setidaknya, kebutuhan pangan bisa dipenuhi langsung tanpa harus membeli.
Masing-masing komoditas juga ada yang memiliki jangka waktu pendek untuk bisa dipanen dan seluruhnya menjanjikan. Ia pun meminta kepada penyuluh agar tidak membiarkan petani menganggurkan lahannya setelah selesai musim panen.
“Penyuluh tidak boleh membuat ada lahan yang menganggur dan tidak menghasilkan uang. Satu, dua bulan tidak tanam, berarti membuang satu musim. Kalau satu hektare luasnya, kita sudah membuang sekitar Rp 10 juta,” kata dia.
Lebih lanjut, ia pula menyinggung perihal banyaknya masyarakat perkotaan yang beralih profesi menjadi petani dengan pulang ke kampung halaman.
Itu pun seharusnya menjadi cerminan bahwa sektor pertanian menjadi sektor yang memberikan kepastian untuk menghasilkan pendapatan.
Namun, hal itu pun tidak selamanya memberi dampak positif. Ada dampak negatif yang ditimbulkan bila masyarakat berbondong-bondong kembali ke desa untuk menjadi petani.
“Jadi teruslah bajak sawah, lakukan penanaman, jika mau libur (tanam) 14 hari cukup karena lahan begitu bagus,” ujarnya.
Bappenas Perkirakan Tak Ada Lagi Profesi Petani pada 2063
Sejalan dengan itu, sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) memprediksikan profesi petani tidak ada lagi pada tahun 2063. Hal tersebut diperkirakan akan terjadi seiring dengan terus menurunnya pekerja di sektor pertanian.
Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia menjelaskan, pada tahun 1976 silam, sektor pertanian masih memiliki proporsi pekerja yang mencapai 65,8 persen.
Namun, di 2019 jumlah tersebut menurun signifikan menjadi hanya 28 persen. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya pekerja di sektor pertanian yang memilih beralih profesi ke sektor lain. Tercermin, proporsi pekerja di sektor jasa pada 1976 sebesar 23,57 persen naik menjadi 48,91 persen di 2019.
“Apabila kita menggunakan tren ini dalam perhitungan linear, tentu saja hasilnya cukup mencengangkan, mungkin di 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal. Mudah-mudahan hal ini bisa kita lawan,” ujarnya dalam webinar Bappenas yang berlangsung pada Selasa, (23/3).
Hal serupa juga terjadi di sektor industri, dimana dengan proporsi pekerja di sektor tersebut mengalami peningkatan menjadi 22,45 persen di 2019 dari sebelumnya yang hanya 8,86 persen di tahun 1976.
Mia mengungkapkan, penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian terjadi seiring dengan semakin berkurangnya lahan yang digunakan untuk pertanian. Hal itu terlihat pada lahan pertanian yang mulanya 7,75 juta hektar di tahun 2013 namun menurun menjadi 7,45 juta hektar di tahun 2019.
Salah satu faktor pendorong berkurangnya lahan pertanian itu adalah perubahan tata guna lahan akibat pesatnya urbanisasi. Diperkirakan, penduduk yang tinggal di perkotaan di tahun 2045 akan semakin meningkat menjadi 67,1 persen.
“Itu setara dengan 68,3 juta orang atau setara pula dengan populasi penduduk Thailand di 2017,” terangnya.
Ia menuturkan, pangan sudah merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap penduduk, terlebih bagi mereka yang tinggal di kawasan perkotaan yang jauh dari sentra produksi pangan. Sayangnya, lahan pertanian justru terus mengalami penurunan.
Dikatakannya, pada sejumlah negara pembangunan perkotaan memang telah menjadi pendorong utama dalan pembangunan nasional dan transformasi sosial, yang bekontribusi pada peningkatan pendapatan rumah tangga, peningkatan status gizi anak, serta kemudahan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Menurutnya, seiring dengan semakin pesatnya urbanisasi di perkotaan, semakin meningkat pula angka kemiskinan dan kerentanan akan pangan di Indonesia. Hal itu turut memberikan dampak tekanan pada sistem pangan dalam berbagai bentuk, seperti kelaparan dan kekurangan gizi…baca selengkapnya dengan klik di sini. (*)