Mediatani – Permasalahan regenerasi petani masih menjadi polemik masa depan pertanian Indonesia. Stigma masa depan yang suram membuat kaum muda enggan menjadi petani.
Hal tersebut diungkapkan oleh Sekjen Organisasi Pemuda Pedesaan Indonesia (PTI) Sonny Suroyo saat menghadiri acara pembukaan pimpinan PTI di Sumsel, Jumat (13/1/2023).
Ia menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian Indonesia menurun hingga 5,04 juta rumah tangga.
Dari 31,17 juta rumah tangga pada tahun 2003 (sensus pertanian tahun 2003), jumlah rumah tangga turun menjadi 26,13 juta rumah tangga pada tahun 2013. Rata-rata penurunan per tahun sebesar 1,75 persen. Dari jumlah tersebut, hanya 10 persen petani Indonesia yang berusia di bawah 30 tahun. Sebagian besar petani berusia antara 40 dan 60 tahun.
”Dari pengamatan kami, sarjana pertanian siap bekerja, tetapi tidak siap berwirausaha di sektor pertanian. Mereka khawatir alih fungsi lahan, permodalan, akses sarana produksi, hingga ketidakpastian pasar,” katanya.
Jika situasi ini terus berlanjut, tambah Sony, masa depan pertanian terancam. Oleh karena itu, berbagai visi dan program kerja telah dibuat untuk terus memajukan petani muda. Ia mencontohkan peluang permodalan dan pemasaran bagi petani muda.
”Jika pasar sudah pasti, pertanian akan kian dilirik,” ucapnya.
Pada saat yang sama, pihaknya juga menyelenggarakan beberapa program terkait sarana produksi, di antaranya Program Makmur yang menawarkan dukungan kepada petani muda yang ingin menjadi pengusaha di sektor pertanian. Dengan langkah tersebut, diharapkan di tingkat kabupaten/kota, PTI mampu melahirkan sedikitnya 100 petani muda baru di wilayahnya.
”Kami tidak muluk-muluk, yang penting ada motivasi bagi pemuda untuk menjadi petani,” ujar Sonny.
Al Akbar Nugraha, 25 tahun, petani asal Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk dan pestisida dengan harga terjangkau.
”Saat ini harga pupuk dan pestisida naik hingga dua kali lipat. Padahal, harga komoditas juga tidak menentu. Kondisi ini membuat saya hanya bisa dapat uang lelah saja,” katanya.
Dia mencontohkan, menanam cabai di dataran tinggi membutuhkan waktu sekitar lima bulan untuk bisa panen. Modalnya dari mandi sampai panen Rp 37 juta. Namun saat panen, harganya sangat rendah, dengan total penjualan Rp 40 juta. Ini belum termasuk gagal panen.
“Lebih baik jadi pengusaha atau pekerja yang penghasilannya terjamin,” kata Akbar yang juga menanam kopi.
Bambang Pramono, Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Hortikultura Sumsel mengatakan minimnya petani muda disebabkan beberapa faktor, yakni lambatnya pembaharuan pertanian akibat pesatnya era transformasi digital. Hal ini mendorong kaum muda untuk memilih profesi lain yang lebih menjanjikan.
Selain itu, banyak penyuluh pertanian yang beralih pekerjaan menjadi kepala sekolah atau perangkat desa dan kurangnya motivasi di pemerintah daerah.
Saat ini Pemprov Sumsel menggalakkan Gerakan Mandiri Pangan Sumsel (GSMP). Program ini mengajak warga untuk beternak atau bercocok tanam berbagai bahan pangan penyumbang inflasi.
Ahmad Ardiansyah, Kepala Bagian Kredit Bank Sumsel Babel (BSB), menjelaskan dari Rp 2 triliun yang disalurkan melalui BSB, 52% dialokasikan untuk sektor pertanian.
“Pertanian memang menjadi sektor prioritas karena potensinya besar,” ujarnya.
Menurutnya, menjadi petani adalah pekerjaan yang menguntungkan. Jika dilakukan dengan baik, hasilnya cukup besar, melebihi gaji yang dibayarkan kepada pejabat atau pekerja.
“Kami para bankir membidik dua kelompok, petani dan pedagang, karena mereka berpenghasilan tinggi,” kata Ahmad.
Gubernur Sumsel Herman Deru berpendapat, cara berpikir anak muda tentang petani harus diubah. Saat ini mereka mengira bertani adalah pekerjaan terakhir yang mereka inginkan karena tidak mendatangkan kekayaan.
”Padahal, jika dikelola dengan baik, sektor pertanian akan mendatangkan pendapatan yang besar. Karena itu, selain bertani juga harus ditanamkan jiwa kewirausahaan,” ungkapnya.
Di sisi lain, kita harus menjaring sumber daya manusia dan potensi pertanian yang bisa diberikan kepada generasi muda untuk masuk manajemen.
“Jangan pernah langsung berpikir untuk menjadi besar, mulailah dari yang kecil,” katanya.
Herman juga berharap para pemuda nantinya bisa menjadi teladan bagi petani lainnya agar mandiri dan tidak dipaksa bekerja di lahannya sendiri.