Mediatani – Selain memiliki potensi pariwisata dan budaya, Pulau Lembata juga terkenal dengan potensi perikanannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan salah satu produk perikanannya yang melambung hingga ke pasar mancanegara. Produk perikanan itu adalah ikan teri yang berasal dari Desa Hadakewa.
Nama Desa Hadakewa memang sudah dikenal luas sebagai lumbung ikan, terutama untuk jenis ikan teri. Desa Hadakewa ini merupakan desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Desa ini berjarak 13 kilometer dari Ibukota Kabupaten, Lewoleba.
Kepala Desa Hadakewa, Klemens Kwaman, menjelaskan bahwa perikanan merupakan potensi desa yang sangat menonjol. Hal itu juga membuat sebagian penduduk desa ini berprofesi sebagai nelayan.
Sebagai Kepala Desa yang terpilih pada 2016, Klemens sudah membangun sejumlah infrastruktur yang bisa menunjang aktivitas nelayan. Pembangunan infrastruktur itu menggunakan anggaran yang diambil dari dana desa yang didapat.
Potensi sumberdaya alam yang melimpah ini telah menjadi salah satu penyumbang terbesar perekonomian desa. Untuk memanfaatkan potensi perikanan tersebut, pada 2017 Klemens membentuk membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang diberinama Tujuh Maret.
Ikan teri yang melimpah di daerah tersebut kemudian dikelola oleh BUMDes Tujuh Maret Hadakewa dan mulai memproduksinya sejak 2018 lalu.
“Keberadaan BUMDes Tujuh Maret Hadakewa mampu menciptakan lapangan usaha bagi penduduk desa. Ini sangat membantu pemerintah desa guna menjalankan roda perekonomian melalui ikan teri,” ungkapnya.
Benediktus Lamapaha, selaku Direktur BUMDes Tujuh Maret Hadakewa, menjelaskan bahwa produk ikan teri Hadakewa sudah melambung hingga ke pasar India. Selain pasar Internasional, produk ini juga merambah pasar nasional dengan penjualan secara online.
“Meski begitu, banyak faktor yang harus segera diantisipasi agar ikan teri bisa terus diproduksi. Seperti faktor cuaca dan minimnya dukungan teknologi dalam pengemasan dan pengeringan ikan teri,” ujar Benediktus.
Dalam sehari, ikan teri hasil tangkapan nelayan yang masuk ke BUMDes bisa mencapai hingga 70 kg. Namun, jika terjadi angin kencang dan hujan, nelayan bagan BUMDes terkadang memilik pulang dan hanya menangkap ikan untuk konsumsi keluarga.
Produk ikan teri ini dibanderol dengan harga Rp25 ribu untuk kemasan 250 gr, sementara untuk kemasan 500gr dan 1 Kg dihargai masing-masing Rp50 ribu dan Rp100 ribu. BUMDes bisa mendapat omset hingga Rp54 juta setiap bulannya dari produk ikan teri ini.
Karena produk ikan teri yang menembus pasar India itu, nama Hadakewa kini telah menyeruak ke permukaan jagad mewakili Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur dan Indonesia.
Awal mula usaha pengolahan ikan teri
Di tahun pembentukan BUMDes, Klemens juga membangun infrastruktur berupa jetty (dermaga) yang berada di dekat pasar Hadakewa. Di dermaga tersebut, Ia menarik retibusi dari kapal yang berlabuh tambat di dermaga itu untuk kemudian dikelola BUMDes.
Dilansir dari Mediaindonesia, sebelumnya pada tahun 2017, ia mengubah lokasi kumuh yang terdapat di bibir pantai Desa Hadakewa. Selama ini lokasi tersebut digunakan untuk membuang sampah, menjadi lapangan futsal, taman baca, serta balai pelatihan.
Pada tahun 2018, Klemens mulai melihat potensi ikan teri yang dapat diolah menjadi produk kemasan. Untuk memulai usaha ini, sebanyak Rp 85 juta dana desa yang diterimanya dialokasikan untuk mengolah ikan teri melalui BUMDes Tujuh Maret.
Dana tersebut digunakan untuk membangun beberapa sarana pendukung, seperti tempat pengeringan, pengadaan bahan baku, dan bahan kemasan.
Dengan adanya usaha tersebut, nelayan kini bisa menjual ikan teri tangkapannya ke BUMDes, dari yang sebelumnya dijual ke tengkulap. Ikan teri itu kemudidan diolah dan dikemas menjadi lebih menarik. Awalnya, ikan teri kemasan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Karena pasar merespon bagus, produk tersebut terus berkembang hingga merembah pasar internasional. Keberhasilan Desa Hadakewa mengelola potensi wilayahnya itu bahkan sampai ke telinga Presiden Joko Widodo.
Jokowi kemudian meminta lulusan Fakultas Teknik Elektro, Universitas Hassanudin Makassar ini untuk ikut dalam rombongannya ke India untuk menghadiri acara Benchmarking pada 3 September 2019 lalu. Di acara tersebut, ia menceritakan pengalamannya mengelola potensi desa.