Mediatani – Sebuah hasil analisis peneliti dari Inggris dan Kanada mengungkapkan bahwa saat ini negara-negara tropis di berbagai belahan dunia berisiko mengalami penurunan pasokan ikan hasil tangkapan di laut sebagai dampak dari perubahan iklim.
Hal tersebut membuat jutaan orang di berbagai negara terancam menghadapi peningkatan risiko kekurangan gizi. Kondisi tersebut berisiko terjadi di 40 persen negara yang mengandalkan hasil tangkapan perikanan termasuk Indonesia.
”Kami telah menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah ancaman paling luas terhadap pasokan mikronutrien vital bagi banyak negara di dunia, khususnya di daerah tropis,” ungkap Eva Marie, sal seorang peneliti dari Lancaster University, Inggris, sekaligus penulis utama studi tersebut dilansir dari laman resmi Lancaster University, Rabu (21/7/2021).
Para peneliti juga menyebutkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 800 lebih spesies ikan di 157 negara, diketahui bahwa terus terjadi perubahan iklim dan penangkapan ikan yang berlebihan sehingga berdampak pada berkurangnya ketersediaan mikronutrien (zat gizi mikro) yang berasal dari lautan.
Selain memiliki kandungan asam lemak omega-3, ikan juga menjadi sumber zat besi, seng, kalsium, dan vitamin A yang penting bagi tubuh. Kekurangan berbagai zat gizi mikro penting ini bisa berdampak pada kondisi seperti kematian ibu, pertumbuhan terhambat, dan preeklamsia.
Hasil analisis yang dipublikasikan dengan judul Climate change threatens food security of many countries dependent on fish di situs Lancaster, pada Rabu (21/7) itu merupakan kerja sama peneliti dari Inggris dan Kanada yang dipimpin oleh ilmuwan dari Lancaster University. Beberapa pihak yang mendanai penelitian adalah European Research Council, Royal Society, Leverhulme Trust, dan NSERC Canada.
Beberapa spesies hasil tangkapan ikan laut yang rentan terhadap perubahan iklim dan over fishing yaitu ikan kembung (Rastrelliger kanagurta dan R brachysoma), ikan terubuk (Tenualosa ilishai), ikan bonga (Ethmalosa fimbriata), serta ikan lemadang/mahi-mahi (Coryphanea hippurus).
Sementara negara-negara yang sumber mikronutrien hasil lautnya terancam dengan perubahan iklim pada umumnya merupakan negara-negara tropis dan termasuk negara-negara Asia Timur dan Pasifik seperti Malaysia, Kamboja, Indonesia, dan Timor Leste, serta negara-negara Afrika Sub-Sahara seperti Mozambik dan Sierra Leone.
Eva menjelaskan, setiap negara perlu mengetahui sampai dimana kondisi ini berdampak pada ketersediaan stok zat gizi mikro di laut ke depan. Sebab, perubahan iklim dan penangkapan ikan yang berlebihan biasanya juga akan berpengaruh signifikan terhadap stok ikan dunia.
Negara-negara tropis cenderung kurang tahan terhadap kondisi perikanan yang terganggu akibat perubahan iklim karena masyarakat di negara ini sangat bergantung pada hasil perikanan untuk mendukung perekonomian negara dan pola makan penduduk.
Hasil penelitian ini juga memberikan penjelasan kepada setiap negara untuk mengadaptasi sistem perikanan mereka. Setiap negara dan nelayannya harus bersama-sama berupaya mengurangi penangkapan spesies ikan yang rentan terhadap perubahan iklim. Spesies ikan lainnya mungkin bisa menjadi target penangkapan, tetapi tetap memiliki sumber zat gizi mikro yang tinggi.
”Penelitian kami menyoroti bahwa upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mengatasi kekurangan gizi perlu mengintegrasikan antara kebijakan perikanan, iklim, dan pangan. Ini bertujuan untuk mengamankan mikronutrien bagi generasi saat ini dan yang akan datang,” ungkap Aaron MacNeil, Associate Professor di Ocean Frontier Institute di Dalhousie University, Kanada.
Sebelumnya, studi yang dilakukan peneliti di University of British Columbia, Kanada, menunjukkan bahwa spesies ikan besar kebanyakan lebih rentan terhadap perubahan iklim. Sementara spesies yang memiliki pertumbuhan yang lambat juga rentan terhadap penangkapan ikan karena mereka juga membutuhkan waktu lebih lama untuk regenerasi dan memulihkan stok mereka.