Mediatani – Seorang nelayan tradisional Natuna mengungkapkan kekesalannya karena selain harus melawan badai yang begitu kuat di laut, mereka juga harus berhadapan dengan kapal-kapal asing yang bergerombol menangkap ikan menggunakan alat tangkap troll di wilayah perairan sekitarnya.
Dilansir dari Mongabaya, salah seorang nelayan kecil Natuna, Rahmad Wijaya menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami kejadian buruk dengan kapal cantrang. Ketika sedang memancing ikan, ia bertemu dengan kapal cantrang.
Dia merasa kesal karena kapal cantrang berukuran besar tersebut bukannya menjauh, malah mengejar dirinya. Kejadian tersebut dialaminya pada akhir tahun 2020 lalu. Walau kapal cantrang itu melanggar aturan, dia tak mungkin melawan karena selain kalah ukuran, dia juga kalah jumlah.
“Kami hanya berdua, lebih baik lari,” ungkapnya.
Rahmad mengatakan, kapal cantrang yang kedapatan melaut di perairan Natuna itu berasal dari Pati Jawa Tengah. Kapal itu ditemukan pada jarak delapan mil dari garis pantai Pulau Kepala, Kecamatan Serasan Natuna. Karena kesal, mereka nyaris membakar kapal cantrang tersebut.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri mengatakan, sejak 2016, laut Natuna sudah sering menjadi lokasi beroperasinya kapal cantrang. Ia mengetahui bahwa kapal cantrang itu tersebut tidak sesuai aturan, karena alat tangkap yang mereka gunakan itu juga merusak terumbu karang di laut Natuna.
Pada masa Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, alat tangkap cantrang sudah ditetapkan sebagai alat tangkap yang merusak lingkungan. Namun pada masa Menteri Edi Prabowo, cantrang sudah tidak lagi dikategorikan sebagai alat yang merusak lingkungan.
Seperti diberitan Mongabay, sejak Maret 2020, sebanyak 23 kapal cantrang dari Pantai Utara Jawa Tengah mulai beroperasi di sekitar laut Natuna Utara. Kapal-kapal itu bahkan mendapatkan izin penuh dari Pemerintah Indonesia.
Hendri menjelaskan, kapal itu hanya beroperasi selama beberapa minggu saja, karena alat tangkap cantrang itu memang tidak efektif menangkap ikan pada kedalaman 50 meter. Akhirnya kapal-kapal itu pun memutuskan untuk kembali ke pantura.
“Setelah itu mereka mencoba melobi pemerintah agar mereka bisa menangkap di laut Natuna bagian pinggir,” katanya.
Tidak lama kemudian, terbit Permen KKP No 59/2020 yang menyebutkan bahwa penggunaan cantrang boleh dilakukan dengan jarak 12 mil dari pinggir pantai. Sedangkan pada pasal lain, kapal kecil (tradisional) yang berukuran 10 GT ke bawah hanya boleh melaut antara 0-4 mil.
Para nelayan tradisional di Natuna mengaku kecewa dengan aturan tersebut. Karena, menurutnya, walau nelayan di Natuna menggunakan kapal di bawah-10 GT, mereka bisa melaut lebih dari 4 mil. Selain itu, dari karakteristik laut Natuna, jarak 4 mil itu hanya ada karang berukuran besar sebagai rumah ikan hias.
“Nelayan Natuna itu fishing ground-nya jarak 12-50 mil dari tepi pantai, kalau begitu aturan itu membunuh nelayan kecil,” tuturnya.
Hendri mengatakan, selama ini pemerintah membuat aturan tanpa melakukan survei ke lapangan sehingga mereka tidak mempertimbangkan karakteristik laut suatu daerah dan melibatkan nelayan. Menurutnya, karakteristik laut Natuna berbeda dengan Jawa yang dipinggir lautnya banyak terdapat ikan.
Semenara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan bahwa penggunaan cantrang sudah dikaji pada masa Susi Pudjiastuti, hingga alat tangkap itu dilarang.
“Aturan pemerintah lucu, beda menteri beda kebijakan, beda menteri beda kepentingan,” tutur Susan.
Menurutnya, pemerintah tidak konsisten dalam merumuskan aturan mengenai alat tangkap ikan. Dia melihat, kebijakan yang dibuat itu hanya berdasarkan kepentingan tertentu. Untuk itu, ia mengatakan akan terus mengawasi kebijakan tersebut.
Selain di Kepulauan Riau, penolakan terhadap penggunaan cantrang juga terjadi di Sumatera Utara, Jawa Tengah, Pulau Pari, Angke, kemudian bagian timur Indonesia. Meskipun sebagian daerah sudah banyak yang memakai cantrang, namun menurutnya para nelayan tradisional mereka menolak. Bahkan, beberapa daerah di Kalimantan dan Sulawesi Selatan nelayan cantrang tidak berani melaut karena takut kapal mereka dibakar.