Mediatani — Sebanyak 1.225.000 ikan kakap dan kerapu yang dibudidayakan di beberapa lokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) akan segera dipanen dan selanjutnya diekspor ke Jepang dan China.
Ikan yang dibudidaya itu merupakan benih yang ditebar Pemerintah Provinsi NTT pada kurun Agustus-Oktober 2020. Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Ganef Wurgiyanto di Kupang, Senin (10/5/2021).
Ganef mengungkapkan bahwa jutaan benih ikan kakap dan kerapu itu ditebar di empat kabupaten/kota, yakni Wae Kelambu di Manggarai Barat, perairan Pulau Kambing di Kabupaten Kupang, Lembata, dan Mulut Seribu di Rote Ndao.
Lebih lanjut Ganef menyebutkan bahwa penebaran benih yang dilakukan khusus di Pulau Kambing dan Wae Kelambu ada sekitar 1.225.000 ekor, 1 juta ekor di Wae Kelambun, dan 225.000 ekor di Pulau Kambing.
“Tidak ada kerusakan berarti saat badai Seroja menimpa perairan NTT. Hanya ada satu jaring mengalami kerusakan 10 persen di Pulau Kambing, tetapi sudah diperbaiki. Secara keseluruhan masih aman,” ungkap Ganef.
Ikan budidaya yang akan dipanen itu meliputi sekitar 700.000 kerapu dan 300.000 kakap di Wae Kelambu. Selain itu, ada sekitar 100.000 kerapu dan 125.000 kakap di Pulau Kambing. Ikan kakap lebih cepat berkembang dibandingkan karapu.
”Keduanya dilepas sama-sama dalam jaring, tetapi enam bulan kemudian berat kakap sudah mencapi 500 gram per ekor, sementara kerapu baru mencapai 300 gram. Standar panen 500-600 gram berat per ekor,” katanya.
Ia menuturkan bahwa kerapu dan kakap yang dibudidaya di Wae Kelambu itu akan dipanen pada pekan depan, sementara yang dibudidaya di Pulau Kambing akan dipanen pada bulan Juni. Sementara dua wilayah lain, yakni Lembata dan di Mulut Seribu, Rote Ndao, juga kemungkinan akan dipanen bulan Juni.
Ikan-ikan yang dipanen tersebut akan diawetkan dan langsung diekspor ke Jepang dan Hong Kong. Untuk harganya, ikan kerapu berkisar Rp 130.000-Rp 150.000 per kg, sementara ikan kakap Rp 90.000-Rp 100.000 per kg. Satu kilogram biasanya berisi 1 hingga 2 ekor. Hasil penjualan tersebut akan menambah kas daerah.
Terpisah, Ketua Komunitas Nelayan Elang Laut Kota Kupang Muhammad Mansyur Docking menyarankan kepada Pemprov, jika ikan kerapu itu hanya dihargai Rp 150.000 per kg dan kakap seharga Rp 100.000 per kg, lebih baik ikan tersebut dijual kepada pedagang ikan yang ada di Kota Kupang.
”Pemprov masih untung jika ikan itu dijual kepada pedagang atau pengusaha ikan di Kupang. Selain membantu masyarakat terbiasa mengonsumsi ikan, juga Pemprov tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan, seperti ongkos kirim, dan biaya-biaya lainnya,” tutur Docking.
Senada dengan Docking, anggota Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bali-Nusa Tenggara Aleta Baun mengatakan bahwa NTT sudah dikenal sebagai daerah dengan gizi buruk, rawan pangan, dan angka stunting atau tengkes tertinggi nasional, yaitu mencapai 23,40 persen.
Oleh karena itu, menurutnya, ikan-ikan hasil budidaya itu sebaiknya dijual kepada masyarakat dengan harga lebih terjangkau agar asupan protein di kalangan anak-anak meningkat. Ia menyayangkan Pemprov NTT yang langsung mengekspor ikan tersebut ke luar negeri, padahal masyarakat tengah menderita gizi buruk, rawan pangan, dan menderita tengkes.
Apalagi masyarakat NTT juga dilanda pandemi Covid-19, di mana masyarakat sangat membutuhkan penguatan imunitas tubuh. Belum lagi badai Seroja yang terjadi baru-baru ini juga membuat mereka semakin terpuruk.
”Coba pikirkan kepentingan masyarakat, jangan hanya mengejar uang. Uang ada pun belum tentu untuk masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Pemrov NTT juga tengah mendata kerusakan di bidang perikanan akibat siklon tropis Seroja. Ganef mengungkapkan bahwa sampai saat ini pihaknya belum menerima laporan resmi dari pemerintah kabupaten/kota terkait kerusakan perahu motor dan kapal nelayan. Namun, sudah ada yang menyampaikan secara lisan bahwa terdapat 800-1.000 perahu yang rusak, dari total 2.000 perahu di NTT.