Opini  

Paradigma Baru dalam Penyuluhan Pertanian Indonesia

Ilustrasi: Aktifitas penyuluh di lapangan (sumber: Dinas pertanian Mesuji)
Ilustrasi: Aktifitas penyuluh di lapangan (sumber: Dinas pertanian Mesuji)

Opini Oleh: Dirhana Purnama, S.P., M.P.
Dosen Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Sulawesi Barat

Sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan penyuluhan pertanian menghadapi berbagai hambatan serius yang berdampak pada menurunnya kualitas dan efektivitas kinerja para penyuluh di lapangan. Salah satu penyebab utama terhambatnya proses penyuluhan adalah pembubaran lembaga penyuluhan yang sebelumnya memiliki peran penting dalam koordinasi dan pengelolaan program-program penyuluhan.

UU tersebut menjelaskan bahwa setelah kelembagaan penyuluhan dibubarkan, alokasi dana yang semestinya digunakan untuk mendukung kegiatan penyuluhan menjadi tidak lancar dan sering mengalami keterlambatan. Akibatnya, pelaksanaan penyuluhan di tingkat daerah tidak berjalan secara maksimal, banyak program terhambat, dan pendampingan kepada petani menjadi kurang efektif, sehingga tujuan utama peningkatan pengetahuan dan kapasitas petani dalam mengelola usaha tani secara berkelanjutan pun sulit tercapai.

Tugas pokok penyuluhan sebenarnya adalah mendampingi petani dalam menentukan pilihan terbaik di antara berbagai alternatif solusi yang ada untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Namun, realitas di lapangan saat ini menunjukkan bahwa kegiatan penyuluhan cenderung lebih terfokus pada aspek pelayanan teknis semata, bukan pada proses pendidikan yang memberdayakan petani supaya mampu berpikir kritis dan mandiri dalam membuat keputusan sendiri. Akibatnya, penyuluhan belum sepenuhnya berfungsi sebagai sarana penguatan kapasitas petani dalam merencanakan dan melaksanakan inovasi secara berkelanjutan.

Banyak petani yang masih belum memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup luas sehingga kesulitan dalam mengidentifikasi persoalan yang mereka hadapi, mempertimbangkan berbagai kemungkinan penyelesaian, maupun menentukan langkah yang paling sesuai untuk meraih tujuan usahanya. Oleh karena itu, peran utama seorang penyuluh adalah membantu mengatasi keterbatasan tersebut dengan menyediakan informasi yang relevan dan memberikan sudut pandang baru mengenai permasalahan yang muncul di lapangan.

Selama ini, kesempatan petani untuk menyuarakan pendapat dan terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan masih belum mendapatkan perhatian yang memadai. Sebagian besar petani berada dalam posisi yang kurang menguntungkan karena mereka umumnya memiliki status sosial yang rendah, kondisi ekonomi yang rapuh, serta kepemilikan lahan yang sangat terbatas sehingga daya tawarnya juga lemah.

Padahal, kelompok petani yang rentan inilah yang sebenarnya perlu diberdayakan secara serius melalui pembentukan asosiasi atau organisasi petani, agar mereka memiliki wadah bersama untuk memperkuat posisi tawar, meningkatkan akses terhadap informasi, sarana produksi, dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan mereka.
Melalui pemberdayaan kolektif semacam ini, petani diharapkan mampu lebih percaya diri menyampaikan aspirasi, memperjuangkan kepentingan bersama, dan secara bertahap meningkatkan taraf hidup mereka secara berkelanjutan.

Mosher (1978) mengemukakan bahwa wilayah pertanian dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang menunjukkan tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terutama tampak pada kualitas dan ketersediaan prasarana fisik pendukung, seperti jaringan irigasi, jalan, serta sarana transportasi yang mempengaruhi kelancaran usaha tani.

Selain itu, variasi produktivitas pertanian juga menjadi indikator penting yang mencerminkan tingkat efisiensi dan pemanfaatan teknologi di setiap wilayah. Di samping itu, tingkat kemajuan para petaninya sendiri termasuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam mengadopsi inovasi pertanian ikut menentukan sejauh mana wilayah tersebut dapat berkembang lebih pesat.

Dengan demikian, pemetaan kategori wilayah ini menjadi dasar bagi perencanaan program penyuluhan dan intervensi pembangunan pertanian yang lebih tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.

Pembaruan Paradigma
Berangkat dari pemikiran Slamet (2001), penyuluhan pertanian memerlukan pembaruan paradigma agar mampu menjawab berbagai tantangan yang berkembang seiring perubahan zaman. Paradigma baru ini bukan dimaksudkan untuk menggantikan atau menegasikan prinsip-prinsip penyuluhan yang sudah ada sebelumnya, melainkan menjadi kerangka pemikiran yang lebih relevan dalam menghadapi dinamika sosial, ekonomi, dan teknologi yang semakin kompleks.

Penyuluhan tidak lagi sekadar dipahami sebagai aktivitas transfer teknologi secara satu arah, melainkan sebagai proses pelayanan yang komprehensif bagi petani dalam bentuk penyediaan jasa informasi yang berkualitas, sehingga petani dapat mengakses pengetahuan terbaru secara cepat dan tepat guna mendukung pengambilan keputusan di tingkat usaha tani.

Paradigma baru juga menekankan pentingnya lokalitas, yakni keberpihakan pada potensi, karakteristik, dan kondisi spesifik wilayah setempat, sehingga intervensi penyuluhan benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata petani. Orientasi agribisnis menjadi salah satu ciri utama yang menempatkan kegiatan pertanian bukan hanya sebagai aktivitas produksi, tetapi juga sebagai usaha yang terintegrasi dengan pasar, pengolahan hasil, dan nilai tambah ekonomi bagi petani.

Pendekatan kelompok diutamakan karena interaksi sosial dalam kelompok tani terbukti lebih efektif dalam membangun solidaritas, mempercepat adopsi inovasi, dan memperkuat posisi tawar petani. Paradigma ini juga menekankan fokus pada kepentingan petani sebagai subjek utama pembangunan pertanian, bukan hanya sebagai objek penerima program, sehingga penyuluhan menjadi lebih partisipatif dan memberdayakan.

Selain itu, pendekatan humanistik-egaliter menggarisbawahi relasi yang setara antara penyuluh dan petani, menciptakan suasana saling menghargai dan membangun kepercayaan. Profesionalisme penyuluh harus terus ditingkatkan agar penyuluhan dijalankan secara kompeten, efektif, dan beretika.

Akuntabilitas juga menjadi prinsip penting dalam paradigma baru, yang menuntut transparansi, keterukuran, dan tanggung jawab atas setiap kegiatan penyuluhan yang dilakukan. Pada akhirnya, tujuan utama seluruh proses ini adalah menciptakan pelayanan yang memuaskan petani, karena keberhasilan penyuluhan diukur dari sejauh mana kehidupan dan kesejahteraan petani mengalami peningkatan yang nyata.

Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya pergeseran paradigma dari pendekatan lama yang cenderung hanya menitikberatkan pada proses alih teknologi secara satu arah menuju paradigma baru yang lebih mengutamakan pengembangan sumber daya manusia petani itu sendiri. Pergeseran ini penting karena keberhasilan pembangunan pertanian tidak cukup hanya dengan memperkenalkan inovasi atau teknologi baru, tetapi juga harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas, keterampilan, pola pikir, serta kemandirian petani dalam mengelola usaha tani secara berkelanjutan.

Dengan paradigma baru yang berfokus pada pemberdayaan manusia, penyuluhan akan lebih mendorong partisipasi aktif petani dalam merumuskan solusi atas masalah mereka, meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan, dan menciptakan hubungan kerja yang lebih setara antara penyuluh dan petani.

***
Catatan redaksi: Penulis adalah dosen pada Program Studi Agroekoteknologi. Artikel ini adalah opini pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.