Mediatani – Manfaat dari limbah organik kerap kali terlupakan oleh masyarakat, sehingga limbah yang tidak terolah menimbulkan masalah mulai dari sisi kesehatan dan pencemaran lingkungan. Beberapa limbah yang jika diproses maka akan bernilai kembali salah satunya pemanfaatan pupuk dari limbah yang diproses melalui proses anaerobik.
Proses anaerobik merupakan suatu proses mikrobiologi yang dalam kondisi kedap udara atau fermentasi terhadap kotoran mentah lalu akan menghasilkan dua produk yaitu: biogas yang berperan sebagai sumber energi dan kotoran yang terfermentai atau ampas dari biogas yang digunakan sebagai pupuk organik.
Istilah organik yang digunakan di sini memiliki arti yang lebih luas dan tidak secara khusus mengacu pada produk pupuk organik yang terstandarisasi.
Sejak puluhan tahun, proses ini biasa disebut dengan teknologi biogas. Para peneliti mengangkat topik tentang biogas ini karena dinilai penting.
Tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, tetapi manfaat dari aplikasi kotoran terfermentasi ini juga berdampak pada masalah mitigasi iklim.
Di Indonesia itu sendiri, ampas dari biogas lebih dikenal dengan istilah bio-slurry. Manfaat bio-slurry terhadap hasil produksi pertanian sudah cukup lama dipelajari. Salah satu implementator biogas melakukan sebuah survei terhadap pengguna tahunan.
Melalui Program Biogas Rumah (BIRU), penggunaan bio-slurry tercatat menunjukkan adanya perbedaan pada hasil yang nyata dibanding pupuk kimia. Tercatat adanya peningkatan hasil di kisaran sepuluh hingga tiga puluh persen dibanding dengan pupuk anorganik atau pupuk kimia.
Dalam wawancara dengan berbagai responden yang memanfaatkan bio-slurry, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dari mereka mengalami hasil produksi yang jauh lebih baik, kondisi tanah yang juga menjadi lebih baik, serta tanaman lebih sehat dan tahan terhadap hama penyakit.
Bio-slurry yang mengandung beberapa komposisi dasar serta proses anaerobik menjadi salah satu alasan ilmiah mengapa penggunaan bio-slurry jauh lebih baik.
Tiga orang peneliti dari University of Guelph serta Agriculture and Agri-Food Canada (AAFC) di Kanada menuliskan sebuah artikel yang didalamnya berisi informasi bahwa, bio-slurry ini ternyata lebih siap diserap dalam pemberian nutrisi ke tanaman melalui sistem akar tanaman.
Ciri-ciri tersebut sangat jarang ditemukan pada pupuk kompos konvensional atau pupuk buatan. Tidak hanya itu, terdapat mikroorganisme yang hidup di dalam bio-slurry yang juga menjadi salah satu faktor pendukung terhadap ertumbuhan tanaman dan juga mampu mempercepat pemulihan ekosistem tanah.
Gas metana yang tertangkap dari proses anaerobik tersebut lalu diubah menjadi sumber energi bersih untuk memasak, lalu ampasnya kemudian dikembalikan ke lahan agar bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam.
Rumput untuk bahan baku ternak menunjukkan bagaimana peran hewan dan pertanian terhubung dan mendukung satu sama lain, dan karenanya membentuk lingkaran sebagai sistem pertanian yang terintegrasi.
Sistem tersebut telah di terapkan di Belanda dan dikenal dengan nama Circular Agrofood System yang pertama kali dipromosikan oleh Wageningen University and Research (WUR).
Teknologi biogas ini dapat diadopsi oleh petani karena cukup sederhana bahkan untuk peternak yang memiliki tiga sampai empat ekor sapi dan investasi untuk instalasi biogas dapat dikembalikan dalam tiga hingga lima tahun. Justru yang menjadi persoalan adalah paradigma di kalangan petani bahwa pertanian organik tidak praktis.
Bio-slurry tidak hanya bermanfaat terhadap lahan pertanian saja, tetapi bioslurry juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang difungsikan untuk menanam sengon.
Bio-slurry ini sebagai bentuk restorasi lahan pada lereng bekas tambang pasir. Dalam lima hingga enam tahun ke depan, masyarakat juga bisa merasakan manfaat dari kayu sengon ini terutama pada nilai ekonomisnya.